October 26, 2010

Save Your Goodbye

"Life is hard sometimes , but there's always a reason for why it is"

hari itu seperti biasa aku, ratri dan harsya menghabiskan siang di black cup, sebuah kedai kopi kecil yang terletak di dekat kampus kami. harsya yang sedang asyik dengan psp nya tampak tidak peduli dengan topik pembicaraanku dan ratri. mataku sesekali menatap ke arah sosok pria dengan kacamata yang sedang serius dengan gadget di tangannya itu
"sekarang lo bayangin deh, din, impossible banget jan wisnu mau begitu saja putus sama sheila. padahal kita tahu banget si wisnu itu cinta mati sama sheila. terus sekarang mereka putus saja gitu tanpa ba bi bu. nggak tahunya si wisnu lagi deket sama anak baru. pantes saja dia bisa seenaknya gitu. ckckckkc,,dasar cowok ya!" ratri memang layaknya seperti infiotainment berjalan, dia selalu update berita terbaru seputar gosip yang sedang beredar di kampus. tidak selalu tentang hubungan asmara orang lain sih, tapi mayoritas begitu.
mataku kembali teralihkan ke arah harsya. sekadar ingin tahu bagaimana reaksinya atas komentar ratri tentang pria. tapi seperti biaa, harsya tetap tidak bergeming dan tenggelam dalam petualangannya sendiri.
"time changes everything, tri. kita kan juga nggak bisa menyalahkan wisnu begitu saja. siapa tahu dia dan sheila memang sedang ada masalah. jadi wajar kan?" aku berusaha berikap netral dan tidak berburuk sangka pada wisnu. walaupun aku sempat kaget juga mendengar berita putusnya hubungan wisnu-sheila, yang notabene mendapat julukan perfect couple.
"tapi nggak bisa begitu saja kan? masa baru beberapa hari putus, wisnu sudah jalan sama cewek lain yang entah siapa iu" ratri tetap pada pendapatnya, memojokkan wisnu. aku hanya tersenyum mendengarnya dan menikmati vanilla latte ku sebelum mendingin. percuma berdebat dengan ratri.
harsya akhirnya meletakkan psp nya dan mengambil cheese muffin yang sedari tadi belum disentuhnya. kacamata yang tadi membingkai matanya kini sudah berpindah tempat di samping cangkir berisi strong espresso yang masih mengepul.
"jadi, kalian bisa datang ke pertandinganku kan lusa?" tanya harsya dengan mulut berisi cheese muffin. begitu saja mengganti topik pembicaraan aku dan ratri. aku mengangguk.
"tapi gue nggak begitu ngerti aturan kendo, sya" kata ratri
"ya kalian nggak perlu ngerti. yang penting kalian datang, dukung gue dan lihat gue menang" jawab harsya penuh percaya diri. sudah 6 bulan harsya memutuskan mengikuti klub kendo di kampus kami. tapi baru sekarang dia bisa ikut bertanding. aku juga sejujurnya tidak begitu mengerti peraturan kendo, tapi seperti yang dibilang harsya, cukup datang dan mendukungnya saja.
"iya deh, memang jam berapa sih mulainya?" tanya ratri sambil mengaduk orange juice nya.
"jam 4"
"wah, aku kayaknya baru bisa datang jam 5an deh. tahu kan tiap jumat jam segitu jadwal aku jemput radit les musik. is it okay?" kataku setelah menyadari bahwa lusa adalah hari jumat. jadwalku mengantar jemput radit, anak kas aria, kakakku
"nggak apa, din. itu mulai officially nya. aku juga belum dapat urutan tandingnya. baru besok fix nya pas gladiresik" harsya tersenyum padaku. senyum yang entah sejak kapanmengetarkan hatiku tiap aku melihatnya.

"tante dindra!" radit berlari ke arahku setelah melihatku keluar dari yaris merahku. seorang anak lelaki yang sangat mirip dengan mas aria kecil. putih, berambut jigrak, selalu ceria dan penuh semangat, atau dalam hal ini terlalu bersemangat hingga membuatku heran.
"wah, sudah keluar daritadi, dit?" aku langsung merasa berslalah saat melihatnya duduk di pinggir jalan sambil memakan es potong. "maaf ya, tante telat" radit menggeleng dan tersenyum ke arahku. mulunya masih belepotan sisa es potong yang tadi disantapnya.
"nggak kok, tante. tadi aku memang langsung keluar mau jajan" jawabnya nyengir dan memperlihatkan beberapa makanan lagi yang ada di kantong jaketnya. aku hanya menggeleng melihat kelkuannya menimbun makanan itu. sebenarnya mas aria dan mbak wulan melarang radit jajan sembarangan, makanya aku mengerti kalu radit amat sangat memnafaatkan kebebasannya dan kesempatan jajan sepuasnya itu di luar rumah.
"ya sudah, ayo cepat pulang. tante ada janji sama om harsya mau lihat dia turnamen kendo" kataku sambil menggandeng tangan radit.
"waah, om harsya ikut kendo, tante? aku juga mau lihat dong, tante? radit tampak bersemangat. dia dan harsya memang dekat, karena setiap harsya main ke rumah pasti ditantangnya main ps berjam jam. aku berpikir sejenak.
"tapi tante telepon papa aria dulu ya?alau nanti radit telat pulangnya bisa bisa tante yang kena marah" kataku mengingat mas aria yang sangat overprotektif pada anak semata wayangnya itu. radit mengangguk dengan mata berbinar.

radit tampak serius melihat tiap ayunan tongkat kendo harsya. aku tak yakin apa dia mengerti, tapi yang jelas dia sama terpukaunya denganku melihat harsya. dengan seragam kendo hitam putihnya, harsya tapak gagah. ratri yang duduk di sampingku malah asyik bertukar nomor hp dan fb dengan cowok baru yang ada disampingnya. aku hanye geleng geleng kepala melihat kebiasaanya itu. take heran hubungan pacarannya tak pernah mencapai 3 bulan. aku bukannya melarang dia seperti itu, tapi aku tak mau orang lain beranggapan negatif pada sahabatku itu. tapi yang dikhawatirkan malah cuek.

radit berlari menghampiri harsya yang masih menggunakan seragam kendonya. harsya memeluknya sebentar sebelum mengusap kepala radir penuh sayang.
"om harsya keren!" kata radit antusias. aku juga sebenarnya ingin melakukan itu, tapi akan sangat beda ceritanya kalau kata kata dan ekspresi itu berasal dariku.
"makasih, radit. nggak sangka kamu datang juga. memang diizinin sama papa?" tanya harsya yang tahu sekali sifat mas aria.
"nggak apa, om. tadi tante dindra sudah bilang sama papa. lagian kan besok aku libur om" jawab radit sambil melihat ke arahku. aku malah tak bisa melepaskan pandanganku dari sosok harsya yang dari dekat terlihat semakin gagah dengan seragamnya itu. seperti seorang ksatria bagiku.
"ya sudah, nanti kalau kamu dimarahin papa, bilang sama om saja ya" kata harsaya masih mengusap kepala radit." thanks ya kalian sudah mau datang" katanya padaku dan ratri.
"iya, untung kamu menang. kalau kalah aku malas lagi nonton pertandingan kamu" candaku diiringi anggukan ratri.
"hahaha...sialan! nggak mungkinlah, kan aku sudah bilang kalian datang buat lihat aku menang" balas harsya sambil menunjukkan piala yang tadi diperolehnya.
"tapi yang pasti rati akan selalu datang, sya. soalnya tadi dia dapat gebetan baru" sindirku sambil menunjuk ke arah cowok yang tadi bertukaran nomor hp dengan ratri. ratri hanya nyengir menanggapi perkataanku.
"pantas dia nggak ngomel ngomel" harsya makin menyndir ratri. "din, sudah jam 9 nih. kasihan radit kalau pulangnya kemalaman" katanya setelah mengambil peralatannya.
"yah, aku kira mau dapat traktir" kataku pura pura kecewa.
" iya, besok saja ya aku traktirnya. mumpung sabtu jadi bisa ajak radit juga" radit melonjak lonjak kegirangan mendengarnya.
"ye! besok ak sekalian minta diajarin kendo ya om?" kata radit bersemangat. harsya mengangguk.
"wah, ps di rumah dijual dong?" kataku bercanda mengingat hobi ps radit yang sudah stadium akhir. radit langsung mencubit tanganku.
"iya, boleh ko. makanya sekarang radit istirahat dulu. ya sudah besok aku ke rumah dindra dulu. ketemu disana saja ya, tri?" tanya harsya sambil membereskan tasnya. ratri mengangguk. " ya sudah besok aku kabari lagi ya. kalian pulangnya hati hati. oia, salam buat mama sama papa ya radit" radit mengangguk. aku, radit dan ratri lalu meninggalkan harsya yang hendak mengganti seragamnya.

pukul 04.25 aku terbangun mendengar suara dering hp di atas meja belajarku. sambil malas malasan aku bangun, karena dering itu tampak taka akan berhenti sebelum aku menjawabnya. tante maya calling.
"halo, tante" jawabku masih dengan suara serak khas bangun tidur saat menjawab telepon tante maya.
"dindra, harsya meninggal" tiga kata itu seolah menjadi palu godam yang berhasil membangunkan dan mengumpulkan semua nyawaku. aku terdiam tak tahu harus bicara apa. punggungku seperti dialiri listrik lututku lemas dan tngan serta kakiku terasa dingin.
"kenapa tante?' tanyaku setelah bisa mengendalikan sensasi aneh yang aku rasakan tadi. 
"kecelakaan, din" aku mendengar tante maya terisak. wajar saja jika harus kehilangn putra yang disyanginya itu. aku pun tak tega menanyakan lebih lanjut kronologis kecelakaannya. karena pasti itu akan membuat tante maya makin terpuruk dalam kesedihannya. setelah tahu dimana RS tempat harsya berada aku langsung pergi kesana.
tanpamake up. hanya mengandalkan jeans dan jaket yang aku pakai untuk menutupi kaos oblong yang tadi aku pakai tidur. aku mnegmudikan yarisku, berusaha untuk berkonsentrasi, walau aku akui berat dinantara pikiran yang mengembara dan air mata yang aku tahan sekuatnya. perasaanku saat itu benar benar tak karuan.
harusnya harsya yang meneleponku untuk menjemputku dan radit. harusnya hari ini harsya bersenang senang merayakan kemenangannya harusnya harsya berada di tempat lain, bukan di ruangan berbau disinfektan seperti ini. penuh semangat, bukan diam saja tak bernyawa. bukan seperti ini jalan ceritanya seharusnya.
jalanan yang masih sedikit gelap dan sepitampak terhalang oleh air mata yang tak kuat aku bendung. aku tak bisa menghentikannya.

sesampainya di rs, aku menemukan ratri, tante maya dan hera, adik harsy, serta beberapa temanku lain yang sudah lebih dulu sampai disana. tante maya tampak lebih tua dari biasanya. hera memeluk mamanya yang terlihat lelah dan terpukul. rastri yang melihat aku datang langsung berlari dan memelukku. menangis sejadi jadinya. aku dengan kondisiku yang tidak lebih baik dari ratri, berusaha mnenenangkan ratri dengan sisa kesadaranku.

setelah agak tenang ratri menceritakan kronologis kecelakaan yang mengambil harsya dari kami selamanya. sebuah mobil yang ternyata remnya blong melaju kencang ke arah harsya malam tadi saat harsya hendak pulang dari gor. harsya terpental menabrak pembatas jalan dan kepalanya membentur beton keras. aku tak sanggup membayangkan kejadiannya, tapi aku masih sulit menerimanya.

"ratri, dindra, kalian mau melihat harsya di dalam?" mas hendra, kakak harsya, menghampiri kami setelah keluar dari kamar icu tempat harsya dibaringkan. aku memandang ratri untuk melihat kondisinya yang sudah mulai tenang dan dia pun mengangguk. mas hendra membimbing kami memasuki ruangan berbau disinfektan bercampur penyegar ruangan itu. aku berusaha menguatkan hatiku untuk melihat harsya.

disana aku melihat sosok harsya yang tak pernaha aku bayangkan sekalipun. dengan selang selang infus yang baru dicabut dari tubuhnya dan alat bantu yang menopang hidupnya selama bertahan melawan sakit. diam tak bergerak, dengan perban yang membalu kepala dan tangannya. tampak beberapa lebam besar di pipi dan lengannya. harsya memang sering diam jika berada diantara aku dan ratri, tapi diamnya kali ini membuat aku ingin berteriak di telinganya. aku ingin mendengar tawanya saat puas menertawakan kisah cinta ratri yang selalu berakhir dengan kata putus atau pada kebodohanku yang selalu melupakan sesuatu entah dimana. harsya yang semalam tampak hidup dan gagah dengan seragam kendonya, kini tampak seperti orang lain di balik selimut putih dan baju pasiennya.
ratri mulai menangis, diawali dengan isakan kecil yang berujung apada bajir air mata. aku hanya terdiam sambil memeluk ratri. air mata yang tadi deras mengalir saat aku mengendarai yarisku sekarang justru berhenti mengalir. bukan karena aku tidak sedih, aku justru terlalu sedih dan terpukul melihatnya dalam keadaan seperti itu. bukan ini kenangan terakhir yang ingin aku ingat tentang harsya.

perlahan aku mendekati harsya yang sudah tak bisa merasakan kehadiranku lagi. aku menahan keinginanaku untuk memeluknya. menahan keinginanku untuk berteriak memanggilnya. berharap dia bisa mendengar dan kembali. menahan keinginanku untuk menangis sejadi jadinya. aku menahan semua karena aku tak mau membebani kepergiannya
"sya, istirahat ya disana.semoga disana ad coffeeshop enak. jadi kamu bisa tunggu aku disana dan traktir aku" aku berbisik lirih di telinganyasambil menahan luapan kesedihanku.aku sayang kamu, sya" kataku akhirnya. air mataku mulai menetes. sebuah kelimat yang sejak dulu ingin aku ucapkan. tapi bukan seperti ini caranya saat aku memberitahunya.

aku berbalik dan mengajak ratri keluar dari ruangan itu. ratri yang masih menangis mengikutiku. dengan berat hati aku menghampiri tante maya untuk menyatakan dukacitaku. tante maya memelukku erat.
"maafkan harsya kalau selama ini ada salah sama kalian" kata tante maya sambil memelukku. aku hanya mengiyakan. "tuhan punya jalan lain untuk harsya dan membuatnya tak perlu merasakan kesakitan lag" aku tahu tante maya berusahaa tabah dan menyembunyikan kesedihannya.
"mas harsya ternyata punya kanker otak stadium , mbak" aku terkejut mendengar kata kata hera.
"tapi harsya ngga pernah cerita" kataku bingung karena selama ini harsya tampak baik baik saja
"kita juga baru tahu tadi, mbak. dari hasil ct scan setelah kecelakaan. mbak dindra tahu sendiri mas harsya gimana" hera menjelaskan terekam kembali ingatan tentang harsya yang selalu terlihat kuat dengan bernagai manly things nya.
aku lalu tersenyum, Tuhan benar benar terlalu baik dan menyayangi harsya hingga menghindarinya dari rasa sakit berkepanjangan di hidupnya. saat itu juga aku merelakan kepergiannya tapi tetap menyimpan kenangan tentang dirinya.
satu hal yang masih membebani pikiranku adalah bagaimana caraku memberi tahu radit tentang hal ini?


4 comments:

  1. nice job,,dinda...
    tpi kok,,banyak ejaan yang salah yah?? sliptyping sih masuknyah...cuma kalo kebanyakan, jadi ganggu, euy...

    Lanjutkan menulisnya,,yah...
    tapi juga jangan lupa untuk menulis hal lain... ^^

    ReplyDelete
  2. hahaha,,sliptyping plus keinginan untuk harakiri
    website aq yg stunya ga bs dbuka =(
    makasi kaka

    ReplyDelete
  3. good job!!
    jalan ceritanya ga ketebak
    keren dew,,,kembangkan lagi bakat mu ini..
    cuma lain kali di proof reading lagi aja ya..soalnya masih ada beberapa kesalahan penulisan hehehe (so iye bgt..)

    ReplyDelete
  4. hahahaha,,makasih cuyun =)
    iyah,,byk yg ngomen gtu.mklumlah saia pengguna pensil serut.hehehehe
    mknya kn mnt klian baca =)

    ReplyDelete