October 29, 2010

Rendezvous



-The meeting of two personalities is like the contact of two chemical substances;
 if there is any reaction both are transformed-
(Carl Jung)

Danisa terpana melihat sosok pria yang baru saja melintas dihadapannya. Sesaat tadi panas terik dan pengapnya halte tak terasa membakar dan menyesakkan. Danisa terus memaku pandangannya pada sosok pria berkaos polo merah yang perlahan menjauh dari pandangannya. Sosoknya yang tak dikenalnya itu terasa familiar bagi danisa.
“dan!” gea yang sedari tadi mengoceh disebelahnya memanggilnya karena merasa omongannya dari tadi tidak mendapat respon dari danisa. “kanapa sih lo? Ngelamun kayak kemabing pasrah mau disembelih begitu?” gea menepuk bahu danisa yang tersentak kaget dari lamunannya. Danisa hanya membalas dengan cengiran. Dan saat dia ingin memastikan siapa sosok pria tadi, pria itu sudah tak ada disana. Menghilang.
Sekuat apapun danisa berusaha melupakan tommy, selalu saja ada hal yang membuatnya kembali mengingatnya. Tommy wardhana, mantan pacarnya yang kini meninggalkannya untuk selamanya. Terlalu sulit menghapus setiap kenangan yang telah mereka habiskan. Terlalu sulit bahkan untuk membuka sesenti celah di hatinya dan membiarkan pria lain masuk ke kehidupannya. Walaupun kalau mau menghitung sudah bermeter meter pria yang mengantri untu masuk ke dalam hatinya, danisa tetap pada pendiriannya. Atau ketakutannya, kalau gea bilang. Dengan tubuh semampai namun berisi, rambut sebahu yang selalu dibiarkan terjatuh, kulit kuning langsat yang tetap seperti itu walaupun sering terkena panas saat bermain tenis serta senyum manis yang terkembang dari bibir tipisnya, membuat banyak pria bertekuk lutut padanya. Ditambah lagi pembawaanya yang ramah dan selalu ceria. Membuat jatuh cinta padanya adalah hal termudah setelah berkedip.
“ge, tadi ada tommy” katanya setelah gea berhenti mengomeli danisa yang melamun. Kali ini gea tersentak dan menatapnya heran, memegang keningnya. Lalu diam.
“dan, lo mabok?” tanyanya pada danisa, masih dengan pandangan herannya. “lo sakit? Apa salah mnum obat? Lo sadar apa yang barusan lo bilang?” tanyanya lagi. Lebih kepada meyakinkan pendengarannya sendiri. Mengibas ngibakan tangannya di depan wajah danisa.
“iya gue tahu kok” jawab danisa pelan. “gue nggak segitu nggak relanya, ge, sampai daydreaming gitu. Tadi gue Cuma lihat ada orang mirip banget sama tommy” danisa melanjutkan sambil memainkan hp nya. Menghindari tatapaan kamu-sudah-gila-ya nya gea. Tak lama bis kota yang ditunggu mereka datang juga, langsung saja orang orang yang sedari tadi menunggu di halte berebutan menaikinya. The other damn-hell-place siang bolong begini.
Danisa tahu sekali gea nggak mau membahas soal tommy. Bukan karena tidak suka atau apa, tapi karena danisa akan sangat histeris dan sedih berlebihan kalau sudah membahas tentang tommy. Karena bagaiamanapun juga tommy sudah tak ada lagi.
Di dalam bis kota yang penuh sesak itu, danisa dan gea yang beruntung mendapat kursi mengipasi wajah mereka dengan tabloid yang baru dibelinya. Sebuah dompet levi’s cokelat jatuh ke pangkuan danisa. Danisa yang sedang memikirkan pria tadi kaget.
“sorry, itu punya gue” sebuah suara serak terdengar dari sebalahku. Atasku lebih tepatnya, karena si empunya suara itu berdiri di sebelahku. Aku kaget saat melihat sumber suara itu adalah pria berkaos polo merah yang tadi aku perhatikan.
“oh” kata danisa pendek sambil menyerahkan dompet itu pada si pemiliknya. Danisa masih kaget.
“sorry ya, jadi ganggu lamunan lo” katanya lagi dan memasukan dompetnya ke saku samping jeans nya. “adrian” tambahnya sambil tersenyum memperlihatkan barisan gigi putihnya.
“danisa” danisa spontan menyebutkan namanya. Padahal dia tahu aturan ‘jangan bicara dengan orang asing’ yang diterapkan orang tuanya dari kecil.
“nice name” lanjutnya. Danisa tak tahu harus memnjawab apa. Dia terlalu sibuk mengagumi adrian. “hati hati, bahaya kalau melamun di bis kaya begini. Apalagi cewek” adrian menasehatiku. Mata cokelatnya memperhatikan sekitarnya. Aku mengangguk mengerti. Justru lo yang berbahaya buat gue, batin danisa.
“panas” kata danisa pendek. Satu kata yang baru ia sadari tidak berkaitan atau menjelaskan apapun. Wajar adrian heran mendengarnya. Tapi dia tak melanjutkannya.
Danisa mengurungkan niatnya memberi tahu gea bahwa pria yang ia maksud tadi memang benar benar ada. Bukan khayalannya saja. Tapi gea malah tertidur di sampingnya hingga adrian pamit untuk turun lebih dulu. Membuat danisa menyesal tidak menanyakan lebih lanjut tentangnya.

Black cup malam itu cukup ramai, danisa dan sheira sedang membicarakan rencana hunting tempat foto akhir pekan nanti, di sela menyiapakan pesanan para pengunjung black cup. Aroma croissant yang fresh from the oven menguar dari piring di nampan danisa, pesanan seorang wanita yang sepertinya seorang pebisnis.
“mbak” aku mendengar seseorang memanggil, mungkin ingin memesan sesuatu. Setelah selesai menyajikan croissant dan irish coffee, danisa berbalik untuk menghampiri asal suara yang memanggilku itu. Betapa kagetnya danisa mendapati adrian yang ada di sana. Mengenakan kaos putih yang dipadu dengan blazer cokelat tua dan memakai kacamata.danisa agak ragu ingin menyapanya.
“danisa” katanya lebih dulu saat melihat danisa dalam seragam cokelat hijau black cup. “lo kerja disini?” tanyanya lagi. Danisa mengangguk dan menyerahkan daftar menu black cup padanya.
“sendiri?” tanya danisa, setengah berharap. Adrian mengangguk. Danisa lalu menuliskan strong coffee dan chocochip cookie yang dipesannya.
“gue kok nggak pernah lihat lo ya, padahal gue sering kesini” kata adrian menyerahkan kembali daftar menu black cup pada danisa.
“iya, gue baru dapat shift malam. Biasanya siang” jawab danisa lalu berlalu untuk mengambil pesanan adrian.
Sisa malam itu, danisa habiskan untuk memandangi pria berkacamata dan blazer cokelat yang duduk di dekat bookshelf black cup. Yang seketika memutar ulang gambaran waktu yang dia habiskan bersama tommy seperti film rusak di otaknya. Beberapa menit menjelang black cup tutup, adrian masih saja asyik dengan laptopnya.

Setelah mematikan lampu black cup, danisa, damar, andika, dan puji, keluar dari pintu samping black cup. Danisa menuju parkiran motor untuk mengambil revo kesayangannya yang beberapa hari lalu sempat masuk bengkel. Danisa mencoba menyalakan mesin reo nya berkali kali, namun tetap saja mesinnya tak mau menyala.
“damn” katanya sambil menendang motornya itu, yang sekarang tidak lagi disayangnya. Danisa tidak tahu apa apa mengenai mesin motor, dan saat itu sudah larut malam. Tak ada yang bisa dimintai tolong. Tiba tiba danisa terlonjak saat bahunya disentuh oleh sebuah tangan. “lho, lo belum pulang?” tanyanya saat menemukan adrian di belakangnya.
“aku baru mau pulang. Tapi aku dengar ada yang marah marah. Nggak tahunya lo. Kenapa?” tanya adrian. Danisa menunjukkan tampang desperate nya dan melirik revo nya.
“padahal baru beberapa hari lalu keluar bengkel” danisa menjelaskan lemas. “tahu begini aku naik angkot saja” tambahnya kesal.
“sabar dong, sini aku periksa” adrian melepas blazernya. Terlihatlah lengan kekar yang beberapa hari lalu juga diperlihatkannya saat dia mengenakan kaos polo merah. Adrian berjongkok dan memeriksa dengan seksama. Mngutak atik beberapa bagian, yang ternyata masalahnya ada pada cdi yang rusak. “kayaknya harus masuk bengkel lagi deh” katanya kemudian dan mengambil blazer yang semula diletakkan di atas motor.
“parah ya?” tanya danisa. Adrian mengangguk.
“otaknya tuh. Jadi harus cepat diberesin” katanya enteng sambil memakai kembali blazer cokelatnya kembali. Yang disesalkan danisa karena tidak bisa lagi melihat sepasang lengan berotot itu lagi. “gue antar cari bengkel ya? Sudah malam begini” tawarnya mengatupkan standar motor danisa dan menuntunnya keluar parkiran black cup sebelum danisa sempat menjawab. Danisa merasa tak ada gunannya juga menolak tawarannya, toh mana berani dia luntang lantung seorang diri malam malam begini dengan motor mogok.
“yakin nggak apa? Barang barang lo mana?” tanya danisa saat menyadari tas yang tadi dibawa adrian masuk tak lagi ada bersamanya. Adrian tidak menjawab, hanya menunjuk ke sebuah soluna hitam yang terparkir tak jauh dari black cup.
Sepanjang perjalanan mencari bengkel danisa dan adrian banyak bercerita. Ternyata dia adalah seorang interior designer di sebuah group company yang merupakan payung baberapa hotel ternama. Seorang perantau dari sumatera yang memulai usahanya dari nol dan juga penggila olahraga tinju. Olahraga favorit tommy. Bagi danisa entah mengapa yang ada di sebelahnya saat ini adalah tommy. Tidak hanya fisiknya yang sama, tapi sifat dan hobi merekapun sama. Danisa merutuki dirinya sendiri, karena semakin dia berusaha menjauh dan menyimpan dalam lemari besi di hatinya semua tentang tommy, ada saja yang mencegahnya. Saat ini adrianlah yan mengingatkannya tentang tommy, yang membuatnya sadar betapa dirinya sangat merindukan tommy.Dan sejak malam itu hubungannya dengan adrian menjadi semakin dekat. Lebih dekat dari sekadar teman. Gerak gerik dan perhatiannya membuat danisa merasakan kehadiran tommy lagi dalam hidupnya.

“siapa?” tanya gea saat danisa menutup telepon dengan muka cengar cengir.
“adrian” jawab danisa singkat.
“lo makin dekat ya sama dia?” gea tampak curiga dengan tingkah laku sahabatnya belakangan ini. Danisa hanya membalas dengan senyuman. “atau jangan jangan, lo sudah jadian sama dia?” gea memincingkan mata.
“apaan sih, ge? Nggaklah” danisa mengelak. Tapi gea terlalu mengenal sahabatnya ini dan tak mau begitu saja dibohongi.
“dan?” tannya gea lagi. Kali ini sambil mengalihkan wajah danisa yang sok serius dengan novel di tangannya. “be honest, sweetie” katanya lagi saat wajah danisa dan dia sudah berhadapan.
“iya” jawab danisa pendek. Mukanya memerah tersipu malu. “baru tadi malam kok” tambahnya. Tak mau membuat gea marah dengan menganggapnya berbohong.
“kenapa nggak cerita?” tanya gea dengan nada tajam. Danisa mengalihkan matanya dari mata gea.
“baru juga gue mau kasih tahu hari ini” jawabnya. Padahal dia tidak ingin gea tahu dirinya dan adrian sudah pacaran.
“lo yakin yang lo pacarin sekarang itu adrian?” tanya gea lagi. Danisa terdiam. Tahu kemana arah pembicaraan ini. “dan, answer me” tambahnya lagi saat danisa hanya terdiam. “dia bukan tommy, dan” gea melanjutkan kata katanya. Membuat dada danisa sesak mendengar kalimatnya itu.
“aku tahu dia bukan tommy, ge”
“aku harap kamu beneran tahu” tambah gea. Kalimat itu mengakhiri pembicaraan danisa dengan gea hari itu.

Beberapa hari ini, danisa tidak melihat gea dkampus. Bahkan telepon atau smsnya tak ada. Danisa tahu sekali, kalau gea tiba tiba menghilang seperti itu, berarti gea sedang kesal dan marah padanya. Danisa sadar, wajar apabila gea marah padanya. Kata kata gea beberapa hari lalu tentang dia dan adrian tidaklah salah. Salah satu alasan danisa menerima adrian menjadi pacarnya memang karena adrian mengingatkannya pada tommy. Oke, bukan salah satu alasan. Tapi satu satunya alasan. Dan danisa tahu, sebagai sahabat, gea tahu benar bagaimana danisa. Danisa tidak bisa berbohong pada gea.
“halo, ge” danisa memberanikan diri menelepon gea untuk meminta maaf. “lo dimana? Bisa ketemu nggak? Ada yang mau gue bicarain”
20 menit kemudian gea datang sambil membawa tumpukan buku di tangannya.
“apaan dan? Sori tadi gue lagi di perpus” katanya lalu meletakkan buku buku itu di sebelahnya.
“gue mau minta maaf soal pembicaraan kita waktu itu. Gue akuin gue yang salah” danisa meraih tangan gea. “maaf, jadinya lo nggak mau ketemu gue gara gara masalah itu” tambahnya. Gea tersenyum.
“bukan ke gue seharusnya lo minta maaf, dan. Tapi adrian” danisa terdiam. “adrian ya adrian, tommy ya tommy. Lo nggak bisa samain mereka, dan. Lo harus jujur dan yakin sama perasaan lo” gea memegang bahu danisa. Berusaha meyakinkannya.
“awalnya, gue memang menerima adrian karena mirip tommy. Gue kangen tommy, ge” suara danisa melirih. “tai semakin lama gue sadar, kalau gue sayang adrian karena dia. Bukan karena dia mirip tommy”
“gue Cuma mau kasih tahu lo, dan, adrian pasti sedih dan kecewa kalau dia tahu alasan lo itu. Apa lo mau bikin dia kayak gitu?” tanya gea menatap danisa dalam. Danisa menggeleng. “sekarang lo harus pastiin perasaan lo sama adrian” daniasa tahu gea benar. Sebagian hatinya memang melihat adrian sebagai tommy, walau bagian lain tak mau mengakui hal itu.
Sulit untuk menerima kepergian tommy. Tapi lebih sulit untuk menerima kenyataan adrian bukanlah tommy. Danisa malu karena telah begitu pengecut mengakui perasaannya. Mengakui bahwa yang disayanginya saat ini adalah adrian, bukan tommy, walaupun sosoknya mengingatkannya pada tommy.
“makasih, ge. Lo bener. Gue yang munafik. Makasih sudah mengingatkan gue kalau hal itu akan bikin adrian sakit. Gue nggak mau nyakitin dia, ge. Gue sayang dia sepenuh hati gue” gea mengusap punggung danisa. Bangga akan keberanian temannya mengakui keslahannya itu.
“dan, itu bukan karena gue. Itu kata hati lo sendiri. Gue Cuma bantu lo dengar kata hati lo sendiri” balas gea. “dan soal  hilangnya gue kemarin, sebenarnya bkan karena gue marah sama lo” kata gea. Danisa menatapnya tak mengerti. “makalah penelitian kemasyarakatan gue hilang, dan gue harus ngebut ngerjainnya lagi. Jadilah dari kemarin gue bolak balik perpus dan begadang” tambahnya sambil menunjuk tumpukan buku refrensi yang baru dipinjamnya.
“sial, gue kira lo marah sama gue” danisa menoyor kepala gea. Kesal karena merasa sia sia kekhawatirannya selama ini membuat sahabatnya marah hanyalah perasaanya saja. Tapi dia juga bersyukur dengan begini dia jadi mengetahui perasaannya yang sebenarnya ke adrian adalah tulus. Tak lama handphone nya berbunyi. Adrian’s calling

1 comment: