October 29, 2010

Never Over


-God creates partners and He created me to be with you.
We are lucky to have found each other-

            Setelah 45 menit beristirahat di black cup, menikmati segelas affogato, aku melangkahkan kaki keluar dari kedai kopi kecil itu. Sudah hampir empat tahun aku meninggalkan kota ini. Tidak banyak yang berubah. Hanya jumlah batang pohon yang berkurang, sampah yang bertambah, angin yang makin kencang dan kesendirian. Kutatapi lagi sekelilingku, berusaha mengingat apa yang pernah terjadi. Tapi seberapa keras usahaku mengingatnya yang terlintas hanyalah sepenggal kalimat:
“biarpun lo nggak lagi di dekat gue dan gue beribu kilometer jauhnya dari lo, gue janji tiap kali lo sedih dan ingat gue, semua kesedihan lo bakal hilang. Karena tiap lo berharap seperti itu, gue akan memanjatkan ribuan doa buat lo. In a blink of an eye. Trust me”

Juli 2006.
“apa? Lo mau ke swiss? Ada apa sih? Kok mendadak banget” dengan wajah terkejut, arya memegang kedua lenganku. Pandangannya penuh rasa tak percaya seolah hari ini april mop dan aku hanya berniat menggodanya. Seperti apa yang sering aku lakukan.
“ya mau bagaimana lagi, papi dapat tugas disana. Mau nggak mau gue harus ikut kan?” aku menjelaskan padanya. Berusaha membuatnya hal biasa. Berusaha memberitahunya bahwa indonesia-swiss tidaklah sejauh bumi-mars.
“tapi kenapa mendadak banget?” arya melepaskan tangannya dari lenganku mulai menguasai diri dari kekagetannya.
“sebenarnya sih sudah dari 3 bulan lalu rencananya. Tapi gue baru bilang sekarang, siapa tahu nggak jadi, kan nanti gue malu sendiri”
”3 bulan? Dan lo baru kasih tahu gue sekarang? Bagus!” arya tampak kesal. Matanya menatapku tajam, mata yang selalu membuatku bertekuk lutut. Tersirat rasa kesal dari wajahnya.
“bukan gitu, arya. Gue Cuma ...”
“Cuma apa?” tanyanya memotong kalimatku dengan sinis. “Cuma anggap ini hal sepele? Atau gue yang sepele buat lo? Lo pikir dong Nala, swiss itu beribu kilo jauhnya dari sini. Nggak cukup Cuma naek angkot atau metromini saja. Terus, 4 tahun kamu disana. 4 tahun itu lama, nala” nada suaranya meninggi. Membuatku takut.
“iya. Gue tahu. Lo pikir gue bego. Geografi gue nggak jongkok jongkok amat. Gue Cuma nggak tahu gimana harus bilang sama lo. Gue Cuma nggak tahu gimana biar lo nggak sedih. Karena gue sedih” air mata yang sedari tadi aku tahan agar terlihat kuat di hadapannya perlahan menetes. Entah akibat bentakan arya atau kesedihan harus meninggalkannya.
Arya yang melihat reaksiku perlahan melunakkan emosinya. Diangkatnya wajahku dan menatapku dalam dalam. Seolah aku terseret masuk ke dalam matanya. Seperti lubang hitam yang menyedot apapun yang ada di sekitarnya.
“sorry, nala. Gue Cuma kaget” katanya dengan nada lembut. “tatap mata gue. Gue tahu biarpun berat buat lo, seharusnya lo tetap bilang sama gue. Lo tahu, itu membuat gue merasa berharga, merasa penting. Makanya, please, jangan jadiin gue last man to know. Gue pengen selalu jadi yang pertama buat lo, tahu tentang lo, karena lo selalu jadi yang pertama buat gue” arya menghapus air mata di pipiku. Tangannya yang besar dan kekar terasa lembut menyentuh pipiku.
“sorry, arya. Gue Cuma nggak mau bikin lo sedih. That was hard for me, damn hard, to tell you the truth” aku menjelaskan dengan suara terputus putus. Aku merasa lebih tenang mendengar kata kata dan menatap matanya.
“yeah, but to accept the truth is harder than to tell it. Sekarang lihat kan, gue sama sama saja kaget dengarnya. Gue nggak tahu harus ngapain buat manfaatin waktu yang tinggal sebentar lagi, nggak tahu harus bawain apa, atau harus nasehatin apa. Terlalu mendadak nala” volume suaranya sudah kembali seperti semula.
“gue juga nggak tahu, arya. Kadang gue merasa nggak adil, orang orang yang berharga dalam hidup gue harus pergi jauh dari gue. Setelah mami sama bang naren, sekarang gue harus jauh dari lo. Kayaknya hidup lagi musuhan sama gue” kesedihan mulai merayapi tubuhku.
Teringat kembali tragedi jatuhnya pesawat yang membawa mami dan bang naren jatuh di magelang. Tragedi yang merenggut mami dan bang naren dariku dan papi. Membuatku yang saat itu masih berumur 8 tahun menjadi penyendiri dan pemurung sejak saat itu. Tapi suatu hari aku bertemu seorang anak kecil dengan rambut acak acakan dan senyum jahilnya. Anak kecil bandel yang selalu mengerjaiku. yang pada saat yang sama selalu mengajakku bermain dan berusaha membuatku tertawa. Dan akhirnya menjadi teman terbaikku hingga saat ini. Arya Erlangga Kusuma.
“hei, lo jelek banget deh kalau lagi sedih gitu. Kayak sapi nggak dikasih makan seminggu tau. Tau kan kalau orang yang gampang sedih itu cepat tuanya. Malu kan umur masih muda tapi tampang sudah kayak nenek” arya mencubit kedua pipiku dan menariknya. “sekarang bagaimana kalau kita cari barang buat kenang kenangan. Siapa tahu lo disana jatuh cinta sama bule swiss, terus malah tinggal disana terus. Lumayan kan ada yang bisa lo ingat dari gue” arya membantuku membereskan buku buku yang masih berantakan di atas meja.
“tapi ...” belum sempat aku menjawab ajakannya, arya sudah meraih tanganku.
Sekitar 2 jam, aku dan arya keluar masuk berbagai macam toko. Tapi kamu belum juga menemukan barang yang sesuai untuk kenang kenangan. Tiba tiba mataku terhenti di sebuah toko kecil bernuansa biru langit yang berdekorasi seperti kamar anak kecil, ramai dan penuh warna. Aku menarik arya untuk masuk ke dalamnya. Kami berpencar mencari barang apa saja yang dijual disana.
“hei, lihat nih” arya memanggilku dan menunjukkan sebuah kotak seperti kotak harta karun bajak laut yang ternyata adalah music box. Tapi bedanya bukanlah balerina cantik yang menari saat kotak itu dibuka, melainkan 2 orang bajak laut yang menari dengan ekspresi wajah konyol diiringi lagu marching band yang ramai dan ceria. “siapa tahu bisa jadi jimat buat lo disana. Suka nggak?” tanyanya padaku. Music box itu memang arya sekali, konyol, ramai dan selalu ceria. Bunga matahariku.
“suka ko, unik banget. Gue kira isinya bakal barbie ballerina” komentarku mengingat music box kebanyakan berisi figur pebalet cantik dengan iringan lagu klasik. Aku lalu melanjutkan pencarianku. Mataku tertumbuk pada sebuah jam weker marvin de martian yang terletak agak tersembunyi. Tokoh favorit arya. Aku mengambil jam weker itu. Sedikit berat. Terlalu biasa, pikirku. Tapi aku menemukan record button di balik tubuh marvin de martian itu.
“mbak,kalau ini fungsinya untuk apa ya?” tanyaku kepada shopkeeper toko itu.
“oh, itu buat merekam alarmnya mbak. Bisa lagu atau suara kita. Jadi nanti bunyi alarmnya tergantung dengan apa yang direkamnya. Bisa diganti juga kok” pramuniaga berambut ala dora itu menjelaskan padaku.aku mengangguk.
“arya! Sini deh” aku menunjukkan penemuan ajaibku itu padanya. Menjelaskan kegunaannya. Arya langsung menyukai weker itu. Memang cocok dengan sifat tidur dimana saja kapan saja sajanya. Setidaknya dengan alarm ini aku bisa merekam suaraku dan membangunkan penyakitnya itu.
Arya mengajakku ke sebuah tempat, yang katanya merupakan tempat rahasia dan pelariannya. Aku menurut saja mengikutinya. Tempat yang dia maksud letaknya di pinggiran kota. Setelah berbelok menjauh dari jalan raya, red beetle vw nya memasuki daerah yang sedikit sepi. Hanya ada beberapa rumah dan warung yang kami lewati. Aku melihat kiri kanan mencari tahu tempat seperti apa yang dimaksud arya. Tapi yang aku lihat hanyalah rumah rumah yang beraujung padang ilalang.
“arya, lo nggak niat cegah gue pergi dengan nyulik gue kan?” tanyaku penasaran. Arya hanya diam namun tersenyum misterius. Oke, jadi sekarang aku harus pasrah saja dibawa kemanapun. Tak beberapa lama, padang ilalang itu berganti dengan deretan pohon yang rindang. Arya menghentikan vw nya di bawah sebuah pohon.
“ayo” ajaknya padakau. Aku celingak celinguk. Sepi. “ayo turun, tuan putri” arya membukakan pintuku. Aku keluar dengan enggan. Angin semilir langsung menghampiri kulitku yang hanya terlindung loose shirt dan jeans, setelah sempat ganti seragam sebelum pergi tadi. Belum sempat aku menyisir daerah itu, arya menarikku. Sekitar lima belas langkah dari sana, aku menemukan sebuah danau yang tidak terlalu besar di depanku. Dikelilingi pohon yang tidak terlalu tinggi dan bebatuan yang tersusun rapi.
“wow” kataku melihat pemandangan yang ada di hadapanku. Hijau, tenang, damai dan segar.
“ini tempat favorit gue” katanya terdengar bangga.
“kenapa baru kasih tahu gue? Pas gue mau pergi lagi” tanyaku kesal.
“1-1. Lo juga kan baru kasih tahu gue” jawabnya jahil. Membalas sikapku yang tidak mmberitahukan kepergianku padanya lebih awal. “gue nggak mau saja nanti lo jadi mau diajak kesini terus kalau tahu. Nanti bisa nggak jadi tenang lagi dong” tambahnya setelah duduk diatas sebuah batu yang sepertinya diletakkan disana sebagai tempat duduk.
“pelit” balasku mencibir ke arahnya. Mataku menikmati pemandangan yang memanjakan dan menenangkan pi                                                                                                                                                                        kiran dan perasaaku ini
“tadinya mau gue jadiin tempat favorit gue selamanya. Tapi gue nggak yakin apa 4 tahun mendatang mash kayak gini. Makanya sebelum lo pergi dan tempat ini berubah jadi perumahan, mall atau mungkin kuburan, gue mau tunjukkin ini sama lo” suaranya terdengar lembut. Mungkin suasana dan atmosfir tempat itu yang membuatku terhipnotis oleh kata katanya.
“nala, thanks ya lo sudah mau jadi teman terbaik gue. Gue nggak tahu 4 tahun itu bakal ada apa saja. Gue nggak tahu apa 4 tahun lagi masih bisa mempertemukan kita lagi. Yang gue tahu, gue sayang sama lo. Terlalu sayang sampai membuat gue terlalu shock dan sedih pisah sama lo hanya sebagai teman” ekspresi wajah arya menjadi serius. Intonasinya melambat. “it just hard to let you go” lanjutnya sambil meraih tanganku. Menggenggamnya. Tubuhnya yang jauh lebih besar dariku, perlahan mendekat. Membuat aroma kayu burberry man kayunya tercium jelas. Tangannya merengkuhku dan meraihku dalam pelukannya. Erat. Hingga membuatku sulit bernapas, tapi aku tak berusaha melepasnya. Terlalu nyaman dan tak ingin menjdikannya pelukan pertama dan terakhir kami. Air mataku perlahan mengalir.
“nala, gue janji akan selalu melindungi lo. biarpun lo nggak lagi di dekat gue dan gue eribu kilometer jauhnya dari lo, gue janji tiap kali lo sedih dan ingat gue, semua kesedihan lo bakal ilang. Karena tiap lo berharap seperti itu, gue akan memanjatkan ribuan doa buat lo. In a blink of an eye. Trust me” itulah kata kata terakhir arya sebelum kepergianku ke swiss.

Empat tahun telah berlalu. Tidak banyak yang berubah dari tempat ini. Masih tetap hijau, tenang dan damai serta segar. Masih dengan pepohonan dan bebatuannya. Semua kejadian empat tahun lalu terputar jelas di ingatanku. Teramat jelas. Sejelas sosok pria yang kini berdiri di hadapanku. Tampak tegap dan gagah dengan sorot mata yang masih sama tajam.
Sosok anak kecil ingusan bandel dengan wajah jahil yang senang menggangguku kini telah berubah menjadi pria dewasa dengan tulang muka yang terpahat jelas dan tegas. Meninjukkan kematangan dan perubahan selama empat tahun. Satu hal yang tak berubah adalah tatapan mata tajamnya yang berhasil selalau menarikku dan menenangkanku.
“welcome home, nala” suaranya kini semakin berat dengan senyum yang membuatku luluh. “ternyata selama 4 tahun tidak banyak berubah ya. Terutama rasa sayangku” lanjutnya.
Aku tersenyum dan berlari menghampirinya. Kembali ke pelukannya yang ternyata masih sehangat 4 tahun lalu.
“aku pulang, arya” bisikku.


1 comment: