November 04, 2010

Sincere

-They can not hurt you unless you let them-


Aku aduk espresso di cangkir cokelat black cup ku. Pikiranku kembali ke pembicaraan semalamku dengan dirga, manajer sekaligus kakakku.
“kalau lo mau karir lu melesat cepat, lo harus putus sama bima” aku yang sedang menghapus riasanku langsung berhenti mendengar kata katanya. Menatapanya tak percaya.
“mas, kenapa harus begitu sih?” tanyaku tidak terima.
“ya memang harus begitu. Lo sendiri yang bilang lo mau karir lo naik. Bararti lo harus bikin sensasi. Kalau lo nggak mau pacaran sama artis lagi, seenggaknya lo single dulu” dirga melanjutkan kata katanya. Aku hanya terdiam memikirkan kata katanya.

8 bulan sebelumnya.
“mara,,mara!” suara lintang terdengar memanggilku saat aku hendak menaiki kawasaki ninja 650r sport hitamku. Aku berbalik dan mlihatnya berlari menghampiriku.
“kenapa sih lo?” tanyaku yang sedikit kesal karena waktu latihan thai box ku yang sudah telat semakin telat.
“ini lihat!” lintang menyerahkan sebuah majalah wanita kenamaan, blush, padaku. Aku mengambilnya tanpa tahu harus aku apakan. Mengetahui apa yang aku pikirkan, lintang mengambil kembali majalah itu dan membuka bukanya sesaat. “nih” katanya kemudian menunjuk ke sebuah halaman yang ternyata berisi pengumuman peserta yang lolos final audisi pencarian pemain untuk sebuah film yang digarap oleh rahardjo wibowo, seorang sutradara kenamaan.
“oh” jawabku singkat tanpa membaca dengan lebih jelas isinya.
“kok malah oh, lihat nama lo ada di situ, mar” lintang berkata dengan nada gemas dan menunjuk nunjuk ke deretan peserta yang lulus audisi untuk  pemeran utamanya. Aku hanya terdiam tak percaya namaku ada di deretan itu. Padahala aku mengikutinya juga karena desakan lintang dan putri karena mereka takut aku bertranformsi menjadi laki laki karena segala kesukaanku berhubungan dengan dunia pria.
“gue lolos audisi nih?” tanyaku tak yakin. Lintang mengangguk dengan semangat.
“iya dan lo harus ikut karantina sebelum syuting. Ya paling kalau lo nggak jadi pemeran utama lo dapat peran apa gitu disana. Ambil ya?” sepertinya malah lintang yang bersemangat karena pengumuman itu daripada aku sendiri.
“ribet ah, tang” kataku setelah membayangkana apa saja yanag akan aku lakukan selama karantina.
“ayolah, mar. Lagian kan semester ini lebih free. Ya? Ya?” lintang memegang lenganku dan memasang tampang memohon padaku. Mungkin aku memang orang yang cuek bebek terhadap sekitarku, tapi akan lain ceritanya kalau sahabat terbaikku yang memintaku. Maka aku mengiyakan permintaanya dan mengikuti proses karantina itu. Dan beginilah akhirnya, aku terpilih menjadi pemain film itu yang ternyata menjadi box office. Setelah itu semakin banayk tawaran film, iklan dan video klip yang menghampiriku yang membuatku menjadi selebristis mendadak. Yang mengharuskanku memilki manajer untuk mengatur segalanya.

Dan sekarang, 8 bulan kemudian aku sudah menjadi public figure yang dikenal masyarakat. Aku jadi terbiasa tidu 3 jam sehari demi syuting ini itu dan sebagainya. Hal yang membuatku meninggalkan latihan kendo, futsal dan karateku. Yang menjadikanku bermobil ia kemanapun, bukan dengan si hitam andalanku.
“kamu mau kulit kamu terbakar jadi kusam? Lagipula kalau kamu naik motor kemana mana kamu bakal repot sendiri kalau ketemu penggemarmu” itu jawaban mas dirga saat aku bertanya mengapa ninja 650r ku mendadak menjadi momok yang menakutkan. Saat itu aku hanya menerima saja jawabannya. Memang benar juga apa yang dikatakannya.
Tapi semakin lama aku tidak mengerti dengan berbagai larangan yang diberlakukan kakak sekaligus manajerku itu. Hingga malam tadi dia memintaku memutuskan bima, pria yang sudah menjadi pacarku selama 2 tahun. Seorang seniman jalanan yang senang melukis dan bermain perkusi. Walaupu sebenarnya dari keluarga berada dan iq yang diatas rata rata, penampilannya sangatlah jauh dari kesan itu. Sangan slengean. Dengan rambut hitam tebal pendeknya yang acak acakan, kaos oblong dan jaket army kesayangannya yang tidak lagi berwarna hijau (entah apa), jeans belel sobek sobeknya, dan backpack hitam lusuh yang selalu dibawanya, orang hanya akan mengiranya seniman jalanan biasa. Tapi itulah yang membuatku menyukainya, prinsipnya melakukan apa yang ia sukai dan bertanggung jawab atas hidupnya tanpa bergantung pada orang tuanya.
Mas dirga menganggap hubungaku dengan bima hanya akan menghambat karirku. Sesuatu yang sesungguhnya tak begitu aku mengerti bagian mananya yang menghambat. Karena selama ini bima selalu mendukungku, mengerti kesibukan mendadakku. Dia selalu mendukungku. tapi entah kekuatan kata kata apa yang dimlki as dirga hingga membuatku akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan bima. Dan saat ini aku sedang menunggunya, untuk memberi tahukan keputusanku.
Sudah 30 menit aku menunggu bima di black cup. Tak lama akhirnya bima datang. Tetap dengan jas army lusuh dan jeans belelnya. Kontras dengan beberapa pengunjung lain, yang memandang aneh ke arahnya.
“sorry, mar” katanya sambil tersnyum saat menghampiriku. Senyuman yang selalu berhasil menangkanku. “ada apa?” tanyanya lagi. Dia memang tipe orang straight forward yang tidak suka bertele tele. Aku bingung darimana harus memulainya.
“pesan minum dulu saja, bim. Tampak lelah” kataku berusaha mengulur waktu. Bima mengangguk, dipanggilnya seorang waiter berambut mohawak. Lalu dia memesan segelas cold frappucino, sebenarnya bima tidak terlalu menyukai kopi. Maka dari itu, sebisa mungkin dia memesan minuman yang racikan kopinya tidak terlalu mendominasi.
“ada apa?” tanyanya lagi setelah waiter bernama andika itu meninggalkan kami. Aku tertunduk, masih bingung memulainya darimana. “damara?” tanyanya lagi. Aku beranikan diri menatapnya.
“sepertinya kita harus break dulu, bim” kataku dengan berat hati. Bima hanya diam dan memandangku. Aku semakin merasa bersalah. Ingin rasanya menghilang dari tempat itu. Dari hadapan bima lebih tepatnya.
“gara gara austin?” tanyanya sambil menatap tajam ke arahku. Aku tersentak kaget mendengar pertanyaanya. Austin wirahasta?
“hah?” tanyaku bingung mendengar nama austin disebut sebut
“iyah, katanya kamu cinlok sama dia?” tanya bima lagi. Ekspresinya tidak berubah masih dingin dan tajam menatapku.
“kenapa jadi bawa bawa dia?” tanyaku sedikit emosi. Memang belakangan ini media mengabarkan kedekatanku dengan austin, lawan mainku di film terbaruku, pelangi jingga. Namun bukan berarti berita itu benarkan, walaupun tampaknya mas dirga sangat menanggapi positif kabar itu. “bukan karena dia, bim” lanjutku setelah berhasil menguasai emosiku. Bima masih diam. Tapi pandangannya tidak setajam tadi.
“lalu?” tanyanya sambil mengaduk cream di atas cold frappucino nya yang baru saja tiba. Aku mengambil cangkir espresso ku, mengirup aromanya. Menenangkan diriku sebelum menceritakan padanya.

“jadi karena mas dirga?” tanyanya setelah mendengar penjelasanku. Wajahnya melunak, tidak marah, justru terlihat iba menatapku. Aku mengangguk. Perasaanku sedikit tenang mengetahui bima tidak marah dengan alasan yang terkesan egois itu. Bima menggamit tanganku, menggenggamnya erat. Diangkatnya daguku. “kamu nggak perlu nangis, mara. Aku ngerti ko” bima menatapku dalam. Aku merasakan kehangatan dari tatapannya itu. Aku selalu mengagumi ketulusannya.
“maaf, bim” kataku kemudian. Bima mengangguk.
“aku akan menunggumu. Walaupun entah sampai kapan aku harus menunggu. Tapi aku akan menunggumu” jemari bima menyusuri wajahku. Mengusapnya lembut.
“bim, tapi aku nggak tahu sampai kapan” kataku khawatir. Khawatir dia akan menemukan wanita lain, khawatir aku akan terpikat pria lain.
“tenanglah, mara. Sometimes to know when to go away and come closer is the key to lasting relationship. Mugkin ini saatnya kita belajar. Dan aku akan berusaha jadi yang terbaik hingga saat itu tiba” aku terharu mendengar kata katanya. Aku sudah menyiapkan diri mendengar penolakannya. Aku siap mendengar makiannya. tapi justru sebuah keihlasan yang aku dapatkan. Yang membuatku semakin merasa bersalah.
“maaf, bim” hanya kata itu yang keluar dari mulutku saat aku rasakan air mata mulai mengalir di pipiku. Bima tersenyum.
“nggak apa, mara. Kita hanya sedang menapaki jalan yang berbeda dan aku mengerti. Aku hanya berusaha yakin bahwa kita akan bertemu di akhir jalan yang aku tapaki ini. Sampai saat ini kita harus sama sama berjuang” entah mengapa bima saat itu tidak terlihat seperti seniman jalanan dengan pakain lusuhnya. Entah mengapa sekitarnya tampak bersinar di mataku.
“aku akan berusaha, bim. Jadi diriku yang terbaik. Jadi yang terbaik untuk kita” kataku kemudian. Bima tersenyum. Aku tahu aku masih belum dewasa. Aku tahu masih banyak hal yang mungkin aku hadapi kedepannya. Tapi mengetahui ada seseorang yang menunggumu, mendoakanmu dan mencintaimu dengan caranya sendiri adalah sebuah anugrah dan kekuatan.

No comments:

Post a Comment