October 29, 2010

Prelude of Lullaby


 -shoot for the moon. even if you miss, you'll land among the stars-

Anak anak itu berlari mengitariku yang sedang kerepotan membawa kertas kertas gambar mereka. Sudah setahun belakangan ini aku mengajar sebagai guru tk di TK Darma Bakti. Memang belum sebagai guru tetap, karena aku masih harus menyelesaikan kuliahku yang semester akhir dulu. Kebetulan saat aku sedang jenuh jenuhnya dengan berbagai masalah perkuliahan, tante maria, teman bunda menawariku lowongan sebagai pengajar di yayasan Darma Bakti miliknya. Mengetahui kesenanganku pada anak kecil, bunda menyarankanku untuk menerima tawaran itu. Jadilah aku menerimanya, dan ternyata cukup menyenangkan bekerja diantara anak anak balita yang masih polos dan selalu aktif itu. Mengesampingkan lelah yang aku rasakan mengangkat angkat anak anak yang kebur berlarian keluar kelas karena tak mau belajar di dalam ruangan.
            “bu citra!” sebuah suara kecil diiringi derap langkah berlari ke arahku. Nesia dewanti, seorang gadis kecil dengan rambut hitamnya yang dikuncir dua dan tahi lalat dibawah mata kanannya, berlari menghampiriku.
            “ada apa, nesia?” aku berhenti dan menunggunya sampai di dekatku.
            “ibu mau cokelat?” tanyanya padaku sambil mengulurkan sekotak cokelat yang belum pernah aku lihat merknya, Guylian, dengan bungkus berwarna cokelat keemasan.
            “wah, terima kasih, nesia. Tapi untuk kamu saja” aku menolak dengan halus walaupun sugar toothku sudah nafsu membara menyuruhku mengambil cokelat yang tampak menggiurkan dari tangan mungilnya.
            “nggak apa kok, bu. Papa nesia bawa banyak dari belgia. Jadi sebagian mau aku kasih ibu. Nih” nesia meletakkan kotak cokelat itu di saku blazer abuku. “kalau ibu suka, di rumah masih banyak kok” nesia tersenyum. Mungkin terdengar berlebihan, tapi senyumnya seperti malaikat di mataku.
            Dari sekian banyak anak yang aku ajar, nesia selalu menjadi salah satu murid favoritku. Walaupun masih berusia 6 tahun, tapi jiwa sosila nya sangat tinggi. Suatu hari aku menlihatnya membagi bekalnya yang tidak seberpa pada dua temannya yang bekalnya tertinggal di kelas saat kunjungan ke kebun binatang. Dia sepertinya tidak peduli walau bekal yang tersisa di kotaknya hanya sebungkus wafer tango kecil. Hari lain, aku melihatnya berkotor kotoran di dekat parit karena membantu temannya mencari cincin hadiah dari chiki yang jatuh entah dimana sampai ketemu. Sebuah pengorbanan cukup besar pikirku apabila dilakukan oleh seorang gadis kecil.
            “nesia, seragammu jadi kotor tuh” kataku ketika dia melewatiku untuk mencuci tangannya.
            “tidak apa ko, bu citra. Kasihan tadi wina nangis gara gara cincinnya jatuh. Mama bilang aku harus sering membantu orang yang kesulitan kalau kita bisa” nesia menjelaskan dengan gaya polosnya. Membuatku tersentak sekaligus kagum mendengarnya. Aku tak menyangka konsep berbuat baik pada otang lain, yang sekarang disalah artikan oleh beberapa oknum, justru sangat kental melekat dalam dirinya.
            Aku jadi penasaran orang tua seperti apa yang mendidik anak sehebat nesia ini. Namun betapa kagetnya aku, saat aku ketahui nesia adalah seorang piatu. Mamanya meninggal saat hendak melahirkan adiknya, yang juga tak dapat diselamatkan. Papanya, yang kabarnya seorang pengusaha muda sukses, sibuk kerja kesana kemari demi anak tercintanya itu. Hal itu membuat nesia tinggal dan dirawat oleh kakek dan neneknya. Dari luar nesia tampak seperti anak kebanyakan lainnya, senang bermain, aktif, selalu ingin tahu dan juga sangat bersemangat. tak bisa kubayangkan dia hidup di sebuah keluarga yang tak sempurna, namun untungnya hal itu tidak berimbas negatif pada sikap dan sifatnya.

            Kurebahkan kepalaku ke sofa merah  black cup, sebuah kedai kopi kecil yang terletak tak jauh dari kampusku. Seperti yang aku katakan, menjadi guru tk membutuhkan energi ekstra. Jadilah sebelum pulng kerumah aku sempatkan diri mampi ke kedai kopi langgananku ini. Dengan dominasi warna cokelat dan hijau serta beberapa detail merah sebagai furniturnya, black cup terasa homey.
            “baru pulang, cit?” kirana, salah satu waiter di black cup yang juga teman sekampusku menghampiriku dan membawakan daftar menu.
            “aku pesan maraschino saja, na” jawabku tanpa melihat daftar menu yang diberikan kirana.
            “itu saja?” tanya kirana memastikan. Aku mengangguk. Kirana lalu pergi meninggalkanku. Aku lalu mengeluarkan kertas kertas hasil gambar anak anak didikku dari file holder merah putih besar di sampingku. Aku selalu senang melihat hasil karya anak anak yang masih ceria dan ramai dengan warna, walaupun beberapa tak dapat kutebak menggambar apa. Mungkin alirannya abstrak atau mozaik. Tapi bagaimanapun juga aku harus memberikan penilaian secara objektif terhadap gambar gambar warna warni yang ada di hadapanku ini.
            “wah, pr lagi, cit?” tak lama kirana datang membawakan maraschino ku. Aku mengangguk. “betah juga ya kamu disana, kalau aku meungkin sudah nggak kuat menghadapi anak anak yang kayak kutu lonccat itu kesana kemari” tambah kirana dan melihat karya beberapa muridku. Clueless.
            Aku hanya tersenyum melihat reaksi kirana. Mungkin baginya ini hanyalah coretan coretan tanpa arti. Namun aku tahu dibalik tiap coretan ini ada daya imajinasi, mimpi dan usaha yang sangat besar si pembuatnya. Dan itu yang membuatku senang mengajar di tk. Semuanya seolah memberi energi positif dan semangat baru bagiku.
            Selesai menilai beberapa gambar. Aku mengambil moraschinoku. Aku aduk agar cream, susu panas dan taburan cokelat diatasnya menyatu dengan espresso di bawahnya. Aku memang sangat menyukai makanan manis tapi di lain pihak aku juga menyukai kopi. Aku meniup moraschinoku yang masih sedikit mengepul dan bersiap menikmatinya sampai sebuah file holder biru tua jatuh dan menumpahkan moraschino yang masih panas itu ke pahaku.
            “oh my, god!” teriakku saat merasakan cairan panas itu menjalari paha lalu kakiku. Aku lekas meletakkan cangkir ku diatas meja dan mengambil tisu yang tampak tidak berfungsi dengan baik menyerap moraschino dari celana bahanku, yang untung saja berwarna hitam.
            “sorry..sorry” seorang pria berusia sekitar 25 something, tampak panik dan mengeluarkan sapu tangan merah marun dari saku celananya. Aroma segar bvlgari marine tercium dari tenguk lehernya saat dia berusaha membersihkan tumpahan moraschino di celanaku yang membuatku risih.
            “it’s okay” kataku berusaha tenang dan menyingkirkan tangannya. “nggak apa ko” kataku lagi, siapa tahu dia tidak bisa bahasa inggris.
            “maaf, maaf, saya tidak sengaja” pria berkacamata itu terlihat sangat khawatir. “biar saya saja yang membayar yang tumpah tadi dan gantinya” suaranya terdengar berat dan berwibawa. Aku menggeleng dan menolak tawarannya itu. Tapi pria itu tetap bersikukuh membayariku. Aku hanya bisa mengangguk pada akhirnya.
            Kuperhatikan lebih seksama lagi pria yang kini duduk di meja seberangku (setelah aku meyakinkannya aku baik baik saja). Pria yang berusia sekitar 25 tahunan itu mengenakan long vest cokelat tua dengan garis moka di sekitar lehernya, kemeja panjang putih  yang bagian hem nya sengaja dikeluarkan melebihi lengan vestnya dan mengenakan dasi abu abu. Secara keseluruhan penampilannya terlihat sangat stylish untuk ukuran pekerja kantoran. Rambut pendek bergelombangnya tampak pas berpadu dengan rahang tegasnya. Merasa diperhatikan, pria itu melihat ke arahku dan tersenyum. dan aku spontan mengalihkan pandanganku, bukannya membalas senyumannya. damn!

"seganteng apa sih orangnya?" mbak dinda, seniorku yang juga bekerja di TK Bakti Darma, mengomentari ceritaku tentang insiden hujan file holder yang menimpaku kemarin. aku terdiam sejenak. tidak bisa menemukan contoh orang terkenal yang serupa dengan pria itu.
"ya pokoknya begitu, mbak" aku bingung menjelaskannya.
"habis aku penasaran, kayaknya kok ganteng banget gitu sampai bikin kamu salah tingkah gitu" mbak dinda tahu banget aku tipe orang yang susah jatuh cinta bahkan hanya tertarik dengan seorang pria.
"nggak ganteng ganteng juga si mbak, tapi ya aku kaya tertarik saja sama dia" toh aku jujurpun kemungkinan aku bertemu dengan dia lagi sangat kecil. jadi tak masalah. mbak dinda tersenyum menggodaku.
"wah, harus dirayain nih, cit" katanya dengan nada menggoda. aku hanya membalasnya dengan cibiran an melanjutkan menilai tugas anak-anak yang tinggal beberapa lembar lagi.
"bu citraaaa" ivan, ketua kelas di kelasku, masuk dengan tampang panik. 
"kenapa, van?" tanyaku pada anak berpipi tembem itu.
"nesia jatuh bu. ga bangun bangun" lanjutnya lagi. mukanya seperti hendak menangis. aku langsung ikutan panik mendengarnya.
"jatuh dimana?" tanyaku lalu berdiri. ivan menrik tanganku dan mengantarku ke halaman samping tk bakti darma yang menjadi tempat bermain anak anak. aku melihat kerumunan anak anak di dekat ayunan. saat aku dekati ternyata mereka sedang mengerumuni nesia yang terjatuh di tanah. aku berjongkok dan menepuk nepuk pipinya. tak ada reaksi, sepertinya pingsan. aku meminta pak jamal mengangkat nesia dan membawanya ke ruang kesehatan.
     aku menuangkan sedikit meinyak kayu putih di telapakku dan mndekatkannya ke hidung nesia, berharap bisa menyadarkannya. sepertinya nesia demam karena badannya panas saat aku pegang. aku sudah meminta mbak dinda menghubungi neneknya untuk menjemput nesia, tapi sepertinya tak ada orang di rumah, karena tidak ada yang mengangkat telepon.
   "nesia,,sayang,," aku menepuk nepuk pipi nesia yang memerah karena demam. "sayang, ayo bangun" kataku lagi. sangat cemas.
     " nesia nggak mau ibu tiri. nesia nggak mau" tiba tiba nesia mengigau. tangannya menyepak nyepak udara. "nesia benci papa" katanya lagi masih dengan mata tertutup. aku semakin takut nesia step. aku mengambil air hangat dan mengompres keningnya untuk menurunkan panasnya.
     tak lama nesia membuka mata. aku sangay bersyukur bisa melihat mata hitam nya lagi.
     "nesia sakit?" tanyaku sambil mengelus keningnya. nesia menggeleng. "nggak apa apa, bilang saja sama ibu" kataku lagi. kecil kecil begini ternya nesia anak yang keras kepala.
   "bu, nesia nggak mau pulang kerumah" aku kaget mendengar kata katanya.
     "kenapa sayang?" tanyaku masih mengusap keningnya.
     "nesia nggak mau punya ibu tiri, bu. nesia takut" katanya lagi kali ini diiringi tangis. aku mengelus kepalanya. berusaha menenangkannya. 
     "kenapa nesia bilang begitu?" nesia memelukku. "ibu tiri tidak selalu jahat ko, sayang" aku menjalaskan padanya. kadang aku selalu kasihan melihat stereotype ibi tiri yang selalu digambarkan kejam. padahal beberapa orang yang aku kenal memilki ibu tiri, tidak diperlakukan kejam seperti di cerita cerita walt disney kok.
    "pokoknya nesia nggak mau papa nikah lagi, bu. nesia nggak mau punya ibu tiri" nesia semakin menegencangkan pelukannya dan juga suara tangisnya.
     aku tak menjawab apa apa, hanya mengusap kepala dan punggungnya dan berusaha menenangkannya. tak lama, nesia tertidur. mungkin karena lelah menangis atau juga karena demamnya.
     
    "cit, kakek nenek nesia nggak ada di rumah. bagaimana dong?" mbak dinda jadi ikutan panik. aku terdiam sejenak berusaha memikirkan jalan keluarnya. tak mungkin aku membiarkan nesia terus seperti itu.
     "mbak dinda tanya nomor telepon papanya ngga?" tanyaku setelah bingung harus menghubungi siapa lagi.
     "oia, aku nggak kepikran tadi, cit. ya sudah aku tanya dulu ya?" mbak dinda kembali ke ruang guru untuk menelepon lagi.dan tak lama kembali mengabarkan bahwa papa nya nesia akan datang menjemput. aku tak tahu apakah itu keputusan yang baik atau bukan mengingat nesia sedang marah dengan papanya itu.
     sambil menunggu papanya datang, aku menemani nesia sambil memegang tangan dan mengusap keningnya. tak tega melihat malaikat kecil ini sakit. aku tidak tahu bagaimana hubungannya dengan papanya, tapi melihat nesia sangat sedih, mendadak aku menjadi kesal. ayah seperti apa yang sangat egois mementingkan dirinya sendiri ketimbang perasaan anaknya. terlebih lagi, sebegitu teganya menitipkan anaknya kepada kakek neneknya untuk dirawat? benar benar tidak bertanggung jawab, pikirku. aku tahu perasaan anak anak itu sangat sensitif, jadi sebaiknya kita hati hati menghadapi anak anak. 
     "citra, ini papa nya nesia" mbak dinda masuk ke ruang kesehatan saat aku hendak mengganti air kompres yang tidak sehangat tadi lagi. aku kaget saat kuangkat kepalaku dan melihat pria yang sama dengan yang aku lihat di black cup beberapa hari lalu. bedanya kali ini pria itu memakai kacamata dan mengenakan jas abu abu.
     sepertinya bukan hanya aku yang kaget melihatnya, tapi dia juga tampak kaget. namun kekagetannya itu tak lama saat melihat nesia, gadis kecilnya, berada di atas kasur ruang kesehatan tk bakti darma.
   "nesia. nesia. bangun sayang, ini papa" pria itu menghampiri nesia dan mengelus rambut dan pipinya. "badannya panas sekali" katanya lebih pada dirinya sendiri.
    "sepertinya nesia demam, pak" aku bingung harus memanggilnya apa. "sebaiknya lekas dibawa ke dokter saja. berbahaya kalau anak anak demam tinggi" lanjutku. pri itu mengangguk dan bersiap mengangkat nesia. lalu tiba tiba nesia mengerang dan mengigau lagi.
     "nesia nggak mau pulang. nesia nggak mau punya mama tiri. nesia mau sama ibu citra saja" sepertinya nesia sedang bermimpi buruk. wajahnya yang memerah karena demam. pria itu sedikit mengernyit mendengar kata kata yang keluar dari anaknya itu. lalu memandangku.
     "ibu citra?" tanyanya ke arahku. aku mengangguk, sedikit takut. takut dikira memprovokasi anak orang. "bisa temani saya membawa nesia ke dokter? siapa tahu nanti nesia mencari ibu" pandangannya memohon padaku. aku tahu alasan sebenarnya adalah agar akau mau menenangkan nesia jika nanti dia bangun dan marah marah pada papanya. aku meminta pendapat mbak dinda, yang dibalas dengan anggukan.
     "tapi sepertinya hanya sebentar, masih ada yang harus saya kerjakan" kataku. pria itu terlihat lega. lalu aku mengikutinya menuju audi a8 sambil membawakan tas milik nesia. audi a8? wow! pikirku.


   dokter ray, yang sepertinya dokter keluarga nesia, mengatakan bahwa nesia hanya demam biasa. daya tahan tubuh yang lemah dan imun yang kurang menjadi penyebab sakitnya nesia. disamping bebabn pikiran yang ditanggungnya. dadaku menyesak mendengarnya, merasa kasihan anak sekecil nesia sakit karena masalah pikiran.
     "maaf, belum semat mengenalkan diri. saya cakra" papanya nesia mengulurkan tangannya. aku maklum kami memang hectic tadi. 
     "citra" aku membalas uluran tangannya. "ternyata anda papanya nesia ya" kataku tersenyum mengingat betapa kecilnya dunia ini. cakra mengangguk, terlihat sedih.
     "sepertinya nesia marah sama saya" cakra memulai pembicaraan. dilonggarkannya dasi hijau tua yang melingkari lehernya.
     "memangnya kenapa?" aku berpura pura tidak tahu. 
     "semalam saya mengenalkan seorang wanita padanya, rekan kerja saya. saya kaget melihat reaksi nesia yang mendadak marah. memang semenjak mamanya meninggal, saya tak pernah membawa wanita" cakra mengehentikan ceritanya. melepas kacamatanya. mungkin lelah. "saya tak menyangka akan seperti ini. mungkin dia salah paham" cakra tampak menyesal. 
     "namanya juga anak kecil. dia hanya bisa melihat segala sesuatu dari luarnya saja" aku berusaha menjelaskan sebijak mungkin. "lagipula, mungkin karena anda kurang berkomunikasi dengan nesia. wajar saja dia bersikap begitu" aku melanjutkan kata kataku. karena sepertinya cakra tidak tahu harus menjawab apa karena rasa bersalahanya.
     "tapi saya kan kerja seperti ini juga untuk kebahagian nesia" cakra akhirnya meresponku.
     "tidak semuanya bisa dibeli dengan uang. sekarang apa kamu tahu nesia suka apa saja? atau dia sedang ingin apa? hal hal seperti itu bisa memberi pengaruh terhadap perasaanya pada papanya. mungkin terlihat sepele, tapi bagi nesia hal itu bisa berarti besar" aku berusaha menjelaskan walau terlihat ceria, sebenarnya nesia sering merasa sedih karen ketidak lengkapan keluarganya  dan juga kesibukan papanya. 
     "saya kira selama ini apa yang sudah saya berikan sudah cukup. semua kebutuhannya selalu saya penuhi. mainan, barang barang, dan sebagainya" cakra membela diri mencari pembenaran.
     "dia hanya berharapa papanya mengerti dan ada saat dia butuh.  apa anda senang melihat nesia tumbuh dengan kasih sayang materi? bukan kasih sayang yang tulus? nesia hanya akan menjadi pribadi yang artifisial" aku menegaskan padanya bahwa tak baik memanjakan seorang anak dengan materi, karena hanya akan memebri pengaruh buruk pada perkembangan dan pribadinya. cakra terdiam. mungkin dia berusaha mencerna kata kataku atau mencari sanggahannya, aku tak tahu. yang aku lihat dia sangat menyesal membuat puteri satu satunya seperti ini.
    "bu citra ..." nesia memanggilku lirih. aku menghampirinya. matanya terlihat sayu. "nesia nggak mau pulang, bu" lagi lagi kata yang sama. 
     "sayang, nggak boleh begitu. kasihan oma, opa dan papa pasti khawatir kalau nesia nggak pulang" aku mengusap rambutnya. "lagipula kalau nesia nggk mau pulang nesia mau kemana?" aku sengaja membuatnya takut agar dia mengurungkan niatnya. 
    "nesia mau sama bu citra saja. boleh?" aku kaget mendengar jawabannya. cakra mendekati kami. nesia tampak kaget lalu ketakutan.
      "papa?" nesia berseru melihat papanya.
      "nesia, maafkan papa ya semalam. tante aida bukan calon mama tiri nesia. jadi nesia pulang ya? kita jalan jalan besok sama oma dan opa" cakra menggenggam tangan nesia. wajah nesia berseri mendengar perkataan papanya.
     "benar pa?" tanyanya tak percaya. aku senang melihat wajah malaikat nesia terlihat lagi. "maafin nesia juga pa, nesia bukannya nggak mau punya mama baru. nesia juga ingin papa punya teman" nesia melanjutkan kata katanya. lalu terdiam seperti memikirkan sesuatu.
     "kenapa sayang? kalau ada yang kamu mau, bilang sama papa. papa nggak mau kamu sakit lagi" cakra menatap nesia dalam. nesia membalas tatapan papanya, masih sedikit ragu, atau takut. lalu menatapku.
      "nesia mau, bu citra yang jadi mama nesia" setahu aku siang itu langit tampak cerah ceria. namun entah mengapa aku seperti mendengar suara petir yang mengaggetkan di kepalaku. cakra, yang aku yakin, sangat kaget mendengar kata kata gadis kecilnya itu. aku tak tahu harus bersikap atau berkata apa. yang pasti saat itu, nesia memang tampak benar benar seperti malaikat di mataku.




No comments:

Post a Comment