The Stop (series)

“Courage is what it takes to stand up and speak; courage is also takes to sit down and listen”

            Mataku tidak bisa lepas dari sesosok pria berkulit sawo matang, berbadan atletis dengan messy short hair cut nya, yang sedari tadi lewat di hadapanku membawa setumpuk buku yang baru datang. Damar Jatayudha Soeryo. sesekali pandangan kami bertemu dan dia melemparkan senyumnya padaku, memperlihatkan sederetan gigi putih yang berjejer rapi. The Stop saat itu masih sepi, hanya ada para pegawai The Stop yang tak sampai 10 orang. The Stop adalah sebuah bookstore yang dilengkapi dengan lounge dan café, dimana pengunjung tidak hanya membeli buku lalu pergi, tapi juga dapat membaca buku disana sambil menikmati secangkir kopi atau teh. Interior design The Stop memang membuat orang di dalamnya merasa nyaman, dengan paduan cokelat dan hijau, membuat atmosfer di dalamnya terasa hangat.
            Aku telah setengah tahun bekerja magang di The Stop, kecintaanku pada buku membuatku tertarik untuk bekerja disini. Karena selain bisa menyalurkan hobi, aku juga bisa mengisi sedikit demi sedikit rekeningku di bankuntuk cita cita muliaku keliling dunia . walaupun thelah setengah tahun bekerja bersama damar tapi tak banyak yang aku ketahui tentang Damar, bukan karena dia orang yang tertutup, justru sebaliknya dia sangat ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja. Tapi aku selalu merasa ada hal yang disembunyikannya, entah apa itu. Awalnya aku tidak begitu memperhatikannya, tapi semakin lama aku sadar ada sesuatu yang misterius dalam dirinya dan itu yang membuat aku tertarik padanya.
            “shei, nanti tolong ya kamu periksa stok bahan di pantry. Aku mau sekalian masukan ke daftar belanja” olvita yang entah sejak kapan ada di dekatku membuatku tersadar. Aku mengangguk dan menuju ke pantry untuk memeriksa persediaan bahan makanan dan minuman yang biasa disediakan di The Stop, yang mayoritas adalah fast-made food and beverages.
            Salah satu yang aku sukai dari pantry ini adalah aroma kopinya yang sangat kuat tercium saat pertama kali masuk ke dalamnya. Aku adalah seorang penggila kopi, yang akan sangat bermasalah jika memulai hariku tanpa kopi. Jadi wajarlah berada di ruangan yang beraroma kopi membuatku sangat nyaman dan memrasa memiliki tenaga ekstra. Aku mulai memeriksa storage dan menuliskan apa saja yang harus dibeli oleh olvita. Kegiatan diawal minggu The Stop adalah yang tersibuk, jadilah aku sudah stand by dari jam 6 pagi tadi. Padahal The Stop sendiri baru buka pukul 11.
Wangi khas Burberry Man tiba-tiba menggantikan aroma kopi yang ada di pantry. Tanpa harus menolehpun aku tahu siapa yang baru saja masuk ke pantry.
            “sibuk, shei? Mau aku bantu?” dengan keringat yang masih belum mongering di lehernya, damar membantuku memindahkan tumpukan storage yang sudah dan belum kuperiksa isinya.
            “beresin bukunya memang sudah beres, mar?” tanyaku sambil memberikan storage yang sudah aku cek. Kalau vampire itu jadi aneh setelah mencium bau darah, aku akan jadi aneh kalau mencium aroma Burberry Man yang sudah tercampur dengan keringat. Call me nut, tapi memang begitu adanya. Perpaduan aroma itu akan sangat membuatku gila.
            “yup! Untung Fadil datang pagi, jadi ada bala bantuan beresin bukunya” aku hanya mengangguk mendengar jawabannyan karena sedang focus pada kerjaanku dan tidak ingin kegilaanku karena aroma khas damar itu terlihat olehnya.
            “okay, done!” kataku sambil menutup catatanku dan mengatur kembali storage yang tadi aku letakkan di lantai. “kamu mau kopi?” tawarku melihat dammar yang tampak kelelahan bersandar di tembok. Sambil mengipasi badannya dengan Koran yang ada di meja pantry.
            “teh saja, shei. Pakai madu ya?” jawabnya dengan nada bossy yang dibuat buat. Aku tersenyum dan mengambil dua cangkir cokelat dengan lambang The Stop. Aku memasukkan beberapa biji kopi, sedikit gula dan kayu manis kedalam coffeemaker dan menyiapkan teh madu untuk damar sambil menunggu kopi racikanku itu jadi.
            “here you are, my lord” kataku setengah bercanda memberikan secangkir teh plus madu untuk damar. Dia tersenyum dan meraihnya dari tanganku. Sebelum mukaku memerah karenanya, aku langsung berbalik dan menghampiri coffeemaker. Sial, kenapa sih orang ini senang sekali mengumbar senyumnya itu!
            “kamu suka banget kopi ya,shei?” tanya damar sambil mendekatiku dan meniup tehnya yang masih mengepul. Walaupun tak kentara, tapi aku cukup gugup berada dalam radius kurang dari semester darinya, apalagi kalau bukan karena efek Burberry Man yang dipakainya.
            “I’m a huge fan of it!!” jawabaku sambil mengaduk dan mencium aroma kopi yang menguar dari cangkirku. “bisa berantakan hariku kalau pagi aku nggak minum kopi, mar” aku mendekatkan engikrku ke arah damar agar dia bisa ikut mencium aromanya. Damar perlahan mundur dan memasang muka jijik, yang aku kira dibuat-buat.
            “aku nggak suka baunya,shei” kata dia membuatku agak sedikit kaget.
            “kenapa? Wanginya enak lho, mar” aku lalu menghirup kembali aroma yang kopiku itu. “lagipula aneh banget kan kalau kamu nggak suka baunya. Kamu kan sudah setahun kerja disini” tanyaku masih tidak mengerti. Kenapa seorang yang benci aroma kopi bisa bekerja di coffeeshop yang selalu tercium aroma kopi dimana-mana.
            “I just don’t like it,shei” mimic mukanya berubah tidak seramah tadi. Aku tidak lagi lebih jauh menggodanya. Bad mood ditambah badan yang lelah bukanlah awal yang baik memulai hari, terlebih lagi Senin. Dan aku tidak ingin harinya menjadi tambah buruk karenaku.
            Dengan alasan ditunggu olvita, aku pamit lebih dulu meninggalkan pantry. Walaupun aku masih penasaran apa yang membuatnya sebegitu tidak meyukai kopi. Bukan berarti aku mau tahu urusan orang, tapi yang aku lihat tadi dia bukan hanya tidak suka dengan aroma kopi tapi lebih dari itu. Karena ekspresi mukanya menunjukkan kebencian yang amat sangat terhadap minuman hitam pekat itu. Aku berusaha tidak terlalu memikirkannya, karena aku tidak suka melihat ekspresinya yang seperti tadi. That’s not he used to be.





“Stop pausing, stop rewinding, stop fast forwarding and live your life as a real live show”

            Kuliah hari ini menguras otak dan tenagaku, selain harus presentasi aku juga harus bolak balik turun tangga untuk memfotokopi bahan yang akan digunakan untuk kuis besok. Jadilah sebelum makan siang aku sudah duduk dengan tenang di kantin kampusku dengan ditemani soto ayam kesukaanku dan es jeruk yang lumayan mendinginkan suasana siang itu. Disampingku duduk Adriana dan Galang, dua teman seperjuanganku sejak SMA sampai sekarang. Adriana adalah seorang wanita feminism, fashionable dan perfeksionis yang suka blak-blakan. Sedangkan Galang, dengan tinggi yang menjulang dan mengaku atlit, tetap saja tak bisa lepas dari batangan tembakau bernikotin itu., adalah seorang pria kebanyakan yang sangat cuek.
            “muka lo ngga banget, shei. Semalam sampai jam berapa memangnya?” Adriana tampak khawatir melihat lingkaran hitam di bawah mataku. Mungkin aku tampak seperti panda saat itu.
            “jam 3an kayaknya, ad. Aku juga lupa” jawabku singkat karena terlalu bernafsu dengan soto ayamku. Kuliah pagi itu memang benar-benar menguras tenagaku, terlebih lagi aku belum sempat member asupan karbohidrat pada perutku.
            “ngapain sih shei lo capek capek magang begitu? Kuliah lo jadi keteteran begitu. Badan lo juga.” Galang menambahkan komentar Adriana, setelah menghabiskan sepiring batagornya.
            “aku baik baik saja kok. Kemarin akunya yang salah lupa ada tugas, jadilah system kebut semalamnya berlaku. Badan aku akan tetep sehat selama kamu ga merokok di dekat aku. Sudah berapa kali dikasih tahu masih juga nekat!” kataku sambil meraih bungkus rokok yang baru dikeluarkan galang dari army jacketnya.adriana hanya tertawa melihat muka galang yang memohon aku mengembalikan rokoknya.tapi aku langsung memasukannya ke dalam saku jeansku, silahkan ambil kalau berani, tantangku.
            Kesenanganku dengan kedua temanku ternyata tidak berlangsung lama, tak beberapa lama mataku bertatapan dengan mata cokelat Tristan. Tristan Kusuma, pria yang selama beberapa bulan lalu masih menjadi pangeran berkuda putihku. Yang selama 2 tahun menjadi pelengkap sayapku. Tempat bersandarku,Tapi kini telah menjadi sayap milik burung lain dan tempat bersandar kepala lain pula. Entah mengapa mataku tak bisa lepas dari sosok Tristan yang semakin mendekat ke arahku.
            “shei …” Adriana menepuk pundakku pelan membuatku kembali pada kenyataan bahwa tak seharusnya aku menatap Tristan begitu lama. “lo nggak apa apa?” tanyanya lagi mungkin khawatir akan reaksiku.
            “ nggak apa, ad” jawabku singkat. Adriana dan galang saling berpandangan. Aku tahu arti pandangan itu, kasihan. Aku memutuskan untuk pergi secepatnya dari tempat itu. Tidak suka menjadi sumber belas kasihan orang, termasuk teman teman baikku sendiri.

            Akhir November, 2010

            Sepulangnya aku dari Surabaya menengok dan merawat sementara kakakku, Mas Satria, yang masuk rumah sakit karena kecelakaan mobil saat hendak dinas di Surabaya, aku langsung menuju rumah Tristan untuk mengobati rasa rinduku padanya. Sebelum aku ke Surabaya, Tristan sedang sibuk dengan promo clothing line barunya, jadilah aku pikir kedatanganku akan menjadi kejutan baginya. Karena siapa sih yang tidak suka mendapat kejutan? Bahkan aku yakin pria pun menyukainya. Iya kan?
Tapi sesampainya aku di rumah Tristan, justru aku yang mendapat kejutan. aku disambut oleh sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya, setidaknya yang aku percayai tidak akan pernah terjadi selama 2 tahun aku bersama Tristan. Tristan, duduk di sofa dan memeluk Nina,wanita yang selama ini dikenalkannya sebagai teman yang membantunya merealisaikan usaha clothing line nya.
            Dengan kondisi badan yang masih lelah karena jetlag ditambah dengan stimulus pemandangan seperti itu di hadapanku, emosiku langsung melesat ke titik tertinggi. Tristan, yang semula tidak menyadari kedatanganku tampak kaget mendengarku menyebutkan namanya. Dia menatapku lalu bergantian menatap Nina, yang juga tampak kaget melihat kedatanganku. Namun tidak menampakkan rasa bersalah.
            “kamu sudah pulang, shei..” Tristan beranjak hendak menghampiriku. Wajahnya pasi dan kata kata yang keluar dari mulutnya bergetar.
            “kamu salah. Aku baru ingin pergi. Maaf telah menganggu waktmu, Tristan” aku langsung keluar dari rumah itu. Rumah yang sudah seperti rumah keduaku. Aku mendengar Tristan mengejar dan memanggilku.namun aku terus mempercepat langkahku.
            “shei,,sheira! Tunggu! Ini tidak seperti yang kamu bayangkan” katanya berusaha meraih tanganku. Aku berhenti dan menatapnya tajam. Berusaha mencari penjelasan. Tapi emosiku lebih menguasaiku.
            “aku tidak membayangkan apa apa, Tristan. Aku hanya melihat. Dan itu sudah cukup’ kataku lalu pergi. Tangan Tristan masih barusaha mencegahku, tapi aku tak peduli. Aku hempaskan tangannya dari pergelanganku. Mencari taksi dan menjauh dari rumah itu, dari Tristan.

            Aku langsung mencari Adriana dan galang. Menangis di tempat umum bukanlah sifatku, maka dari itu aku tahan sebisaku air mata yang sudah ingin menjebol pertahananku. Aku masih ingat bagaimana aku tiba-tiba menjadi mesin pembuat air mata di pelukan Adriana dan galang mengusap punggungku berusaha menenangkan.
            “sudah gue bilang kan, dia itu brengsek. Kamunya saja yang tidak pernah mau percaya, shei” hal yang paling tidak aku sukai dari pria adalah ketidak mampuannya membaca kondisi emosional para wanita.
            “gue beberapa kali lihat Tristan jalan sama cewek lain selain lo, tapi demi menjaga perasaan lo, gue ga pernah mau bilang. Tapi kalau tahu jadinya kayak begini lebih baik dari dulu gue kasih tahu lo” galang mulai terdengar emosi. Aku bukannya tidak tahu itu, tapi aku percaya mereka hanyalah teman Tristan. Tapi setelah apa yang terjadi tampak sulit mempercayai itu lagi.
            “galang, watch your words! She’s not well, for god shake!” aku mendengar Adriana menmukul punggung galang memarahinya. Galang hanya mendumel tak jelas. Aku tahu dia berniat baik padaku, tapi tolong jangan kali ini. Kilas balik saat saat aku bersama Tristan seolah olah sengaja berputar dalam pikiranku, membuatku semakin menjadi. Entah berapa lama aku menangis, yang jelas waktu aku buka mataku lagi hari sudah gelap.
            “feeling better, shei?” tanya Adriana. Diulurkannya kopi kaleng kesukaanku. Dingin. “ bisa sekalian untuk mengompres mata lo” lanjutnya menunjuk ke mataku yang terasa berat. Pasti karena aku tertidur sambil menagis. Kopi kaleng dingin itu tidak hanya menyegarkan tenggorokanku, tapi juga mendinginkan hatiku saat itu.
            Beberapa hari setelah itu, aku seperti mayat hidup yang tak punya arah dan tujuan. Aku bukannya suka begitu, tapi badanku menolak untuk melakukan apapun atau dimasukkan apapun. Kehilangan Tristan seperti kehilangan sebagian jiwaku. Dan kekosongan itu terasa amat menyakitkan. Hari hari yang aku habiskan bersama Tristan terulang begitu saja di kepalaku seperti film rusak yang terus memutar adegan yang sama dan aku tak tahu dimana tombol pause nya.
            Entah berapa kali aku mereject telepon Tristan, entah berapa banyak sms Tristan yang aku hapus tanpa aku baca. Yang jelas aku hanya tidak ingin melihatnya lagi. Bukan karena aku benci padanaya, karena itu tidaklah mungkin.membenci sebagian jiwamu adalah hal yang sangat tidak mungkin. Seperti berusaha tidak melihat bayanganmu di cermin.  Aku benci menjadi lemah dan cengeng jika bertemu dengannya. Itu saja. Karena aku tahu aku akan menjadi seperti itu jika berhadapan dengannya.
            Terima kasih kepada Adriana dan Galang yang selalu ada di sampingku saat itu.dengan segala wejangan dan hiburan mereka untuk menenangkanku.  Walaupun aku tahu, aku pasti sangat mnyebalkan dengan segala keluh kesah dan kecengenganku. Sejak saat itu, aku memutuskan untuk menutup rapat kotak bersegel nama Tristan dalam hidupku.
            If it’s meant to be, things have a way to working out.
            Sebuah kutipan entah darimana yang aku yakini kebenarannya. Mungkin jalanku memang bukan dengan Tristan, atau jikalau memang dengannya mungkin bukan saat ini.




“It is not true that life is one damn thing after another, it is one damn thing over and over”
(Edna St. Vincent Malley)

            Aku rogoh brown leather bag Mooze-ku. Aku memang selalu menyukai tas tas yang berkapasitas besar, tapi satu yang poaling aku tidak sukai adalah mencari barang di dalamnya karena aku selalu memasukan berbagai macam barang ke tasku itu.dan saat buru buru seperti ini makin saja mempersulit mencari barang sekecil flash drive di antara berbagai macam barang-barang itu. Seperti mencari kutu di badan beruang.
            “shei, cari apa sih? Daritadi ribet banget kayaknya?” tanya Adriana yang sedari tadi sedang asyik update status di FB nya. Selain seorang fashionista dia adalah FBholic, yang kerjaanya update satus terus tiap jam.
            “flash drive, ad. Lupa aku simpan dimana” jawabku tanpa memandang Adriana karena terlalu sibuk mengorek ngorek tas cokelatku itu. “data presentasi hari ini kan ada di flash drive itu” lanjutku lagi mulai panik sambil mengeluarkan satu persatu barang dari tasku. iPod, handphone, dompet, headphone, beberapa buku, parfum, handuk kecil, black kit, dan seragam The Stop.
            “busyet, shei! Bawaan lo banyak banget!! Makanya kan sudah gue bilang, pisahin apa yang mau lo bawa. Jangan asal masuk ke dalam tas saja” Adriana mulai mengomeliku. Dia memang miss well-organized yang selalu menata apik apa saja, jadwal acara, susunan barang dan hal hal kecil lainnya.itu makanya kenapa dia disebut si perfeksionis, karena segala sesuatunya haruslah pada tempatnya.
            “ad, aku lagi ga butuh ceramah. Bagaimana nasib presentasi nanti siang kalau sampai fd sialan itu nggak ketemu juga?” aku mulai putus asa mencari flash drive baby blueku.
            “lagian, lo beli alat sepenting flash drive  malah sekecil upil. Coba cari lagi barang kali nyempil” Adriana mulai ikut mencari diantara barang barang yang sudah aku keluarkan tadi. Tapi tetap tak ada tanda tanda keberadaanya. Bahkan setelah aku aduk aduk dan aku balikan tasku, fd kecil itu tak juga terlihat.
“ketinggalan di The Stop mungkin, shei” Adriana mulai ikut pasrah mencari barang kecilku itu. Aku berpikir sejenak, lalu mengambil Nokia E52ku dan mencari nomor Damar.
Calling Damar Jatayudha.  
            “kenapa,shei?” tanya damar setelah tak lama aku menunggu.
            “kamu sedang di The Stop nggak?” tanyaku lega setelah akhirnya mendengar suara damar diujung telepon sana.
            “iya. Ini baru sampai, makanya lama angkat tepon kamu. Kenapa?” tanyanya lagi. Terdengar suara Andika di belakangnya yang berterika terika entah menyuruh damar untuk mengambil atau mengerjakan apa.
            “bisa tolong tanyain ada yang lihat flash drive aku nggak? Warnanya baby blue” kataku lagi sambil berharap.
            “ooh, flash drive itu punya kamu toh? Iya ada di aku, kemari kayaknya jatuh deh di bawah meja kasir” jawaban damar membuatku tenang dan aku memberi tanda pada Adriana untuk tenang karena dia sedari tadi ikutan stress mencari fd ku.
            “waahh,,syukurlah. Aku kira hilang. Penting banget soalnya siang ini aku ada presentasi” Adriana tampak ikut lega. “nanti aku minta tolong galang buat ambil kesana deh, soalnya aku ada kuliah lagi, tapi kamu tunggu di parkiran saja ya? Suka bawel galang kalau diminta tolong kayak begitu” ujarku kemudian sambil mencari cari galang yang sedari tadi tidak tampak batang hidungnya.
            “kalau penting banget aku saja yang kesana, kebetulan shift aku masih 2 jam lagi kok. Kasian galang juga kalau bolak balik kesini. Bagaimana?” damar mengajukan diri yang langsung aku iyakan karena masih belum menemukan galang.
            “thanks a lot ya, mar. I owe you!” pekikku kegirangan. Lalu aku menutup teleponku dan membereskan barang-barangku yang berserakan.
            “dasar, selalu ceroboh. Untung ada yang nemuin. Kalau nggak tamat riwayat lo, shei” aku Cuma nyengir menanggapi omelan Adriana yang selalu rebut dengan sifat sleborku itu. “gue nggak lihat si galang dari pagi, shei. Terus siapa yang mau ambil flash drive lo?” tanya Adriana.
            “nanti damar yang mau kesini”
            “wuah, baik banget! Lo ada apa apa ya sama dia?” tanya Adriana menggodaku. Untung aku bisa mencegah pipiku memerah mendengar pertanyaanya. Tidak ada yang tahu perasaanku pada damar selain aku sendiri. Selain karena tidak ingin membuat hubunganku dengan damar jadi tidak enak, aku jugab belum yakin apa perasaanku itu benar.
            “anaknya memang begitu kali, ad. Kalau bukan aku juga dia pasti tetap mau mengantarkan flash drive itu” jawabku berusaha terdengar biasa. Yah karena begitulah damar yang selama ini aku kenal. Selalu berusaha melakukan hal baik kepada siapapun.
            “oh, padahal dia oke lho” Adriana tak sadar kalau komentarnya itu benar benar menusukku. Oke, memang benar sih kalau dilihat sekilas damar sangat menggoda iman para wanita, terutama aku. Dengan badan atletisnya yang berwarna sawo matang, messy hairnya yang selalu tampak sempurna, wajah dengan rahang tegas juga sorot mata tajamnya, seakan mampu membuat wanita mana saja luluh. Apalagi ditambah pembawanya yang hangat.

            Dari kejauhan aku melihat damar berlari kecil ke arahku dan Adriana yang memang sedang menunggunya di depan gedung fakultasku. Damar melambaikan tangan seolah memberi tanda kedatangannya. Padahal dari jauhpun aku sudah mengenali sosoknya, apalagi dibalut bikers’ jacket andalannya setiap dia menaiki Tigernya.
            “maaf ya lama, tadi aku lupa bawa dompet. Jadi balik lagi, daripada urusan sama polisi” katanya ketika sampai di tempat kami. Dirogohnya saku grey jeans yang sedang dipakainya dan mengeluarkan flash drive baby blue ku.
            “thanks ya, mar. jadi bikin kamu repot” aku mengambil flash drive ku dari tangan damar. “mau minum dulu nggak? My treat” tanyaku melihat pengorbanannya menempuh terik matahari untuk mengantarkan flash driveku.
            “wah, aku harus cepat balik, shei. Tadi andika minta dibantuin, kan Gita sakit. Jadi dia sendirian. Traktirannya boleh dipending nggak?” tanyanya dengan senyum jahilnya. Aku mengangguk dan tersenyum, setidaknya aku jadi punya alas an untuk bersama dengan dia.
            “dasar nggak mau rugi. Iya deh boleh, tapi jangan kelamaan dipendingnya ya?” jawabku. Damar mengangguk dan meninggalkan kami. Pandanganku tidak bisa lepas hingga damar dan tigernya menghilang diantara kendaraan yang lalu lalang di jalanan. Adriana menyenggol lenganku.
            “i bet you, you got a crush on him” lanjutnya saat aku menatapnya.
            “hah? Apaan sih, ad? We’re just partner. That’s it” jawabku dan lalu menariknya untuk kembali ke kelas dan mengakhiri membahas praduganya padaku. Tapi aku masih merasakan tatapan penuh arti Adriana padaku.

            aku berusaha menerobos beberapa kerumunan orang yang baru keluar jam kuliah untuk dapat sesegera mungkin sampai di The Stop. Kulihat jamku sudah menunjukkan pukul 17.20 yang berarti aku harus sampai The Stop dalam 40 menit. Tak berapa lama kau merasa ada seseorang yang menggengam pergelangan tanganku dan membuatku berhenti. Nafasku hampir berhenti melihat siapa yang menahan tanganku. Tristan.
            “ada apa?” tanyaku berusaha terdengar dingin. Tapi saat itu juga slide kenangan aku dengannya seolah mendadak berputar di kepalaku lagi. Tristan menatapku tajam, seolah kembali mengorek luka lama hari dimana aku melihatnya sedang bermesraan dengan nina.
            “aku mau bicara” dengan nada memerintah yang memang khas Tristan. Sebagian diriku ingin menuruti perintah itu, tapi otakku tetap mencegahku. Tanganku berusaha berontak.
            “aku ada urusan, Tristan” kataku sambil masih berusaha melepaskan genggaman tangannya. Tristan terlalu kuat untukku, tapi emosiku membuatku memiliki energy lebih untuk melawan Tristan.
            “sebentar saja, sheira” Tristan masih menatapku. Aku tetap menggeleng dan pergi meninggalkannya setelah terbebas dari genggamannya. Berat rasanya melawan perbedaan  keinginan dari dalam diri sendiri. Sebagian diriku ingin tetap disana, tapi sebagian lagi terlalu sakit untuk terus disana. Tristan masih terdiam disana menatap kepergianku yang menghilang diantara kerumunan orang.

            The Stop sore itu sudah ramai. Beberapa sedang mencari buku di deretan rak yang memajang buku buku yang dijual, dan sebagian lagi tampak tenggelam dengan khayalannya masing masing di area baca di tempat The Stop. setelah berganti seragam krem hijau The Stop aku sempatkan diri dulu menuju pantry dan membuat secangkir kopi untuk menenangkan perasaanku. Bertemu dengan Tristan membuat hariku mendadak buruk.
            “hai, shei” sapa andika,  aku menemukan andika dan maya yang sedang menata pastry di nampan untuk dipindahkan ke lounge The Stop.
            “itu muka rudet banget kelihatannya?” tanya maya sambil memperhatikanku.
            “biasalah may, tadi kuliah aku full” jawabku nyengir. Berusaha biasa walaupun pikiran dan perasaanku tidaklah sebiasa kata-kataku. Tristan. Damn, kenapa sih harus ada dia lagi?!batinku kesal mengingat kejadian tadi. Sejak aku dan dia putus, tadi adalah kali pertama aku berada sedekat itu dengannya. Karena biasanya aku selalu bisa menghindari Tristan sebelum berada dalam radius 1 meter di dekatku.
            “bagaimana tadi presentasinya, shei?” suara damar tiba-tiba terdengar tepat di belakangku. Mungkin karena pikiranku yang terlalu dipenuhi oleh Tristan, aku tak mendengar langkah kaki Tristan saat memasuki pantry.
            “lancar, untung flash drive nya nggak jadi hilang” kataku sambil mengacungkan jempol ke arahnya.
            “baguslah, makanya jangan slebor lagi” damar tersenyum ke arahku dan mengusap rambutku. Mendadak aliran darah ke mukaku menjadi panas. Aku langsung berbalik dan menuangkan kopi dari coffeemaker ke cangkirku.
            “daripada aku kena omel lagi gara gara kamu alergi sama kopi, aku pergi dulu ya mar” kataku lalu meninggalkan pantry The Stop
            “jangan lupa ya traktirannya, shei” kata damar mengingatkan sebelum aku keluar dari pantry.

            Bekerja di The Stop artinya membuatku bisa sepuasnya membaca berbagai macam buku favoritku. Selain itu aku jadi sering memperhatikan karakter orang orang yang mengunjungi The Stop dan menghubungkan dengan jenis bacaan apa yang mereka gemari. Banyak juga pengunjung yang jadi temanku, lumayan kan kalau aku butuh link.hahahaha.. That’s why I love this job!
            Alas an aku mau menerima tawaran ini dari Om Haryo, yang juga pemilik The Stop, adalah aku butuh bertemu banyak orang untuk mengalihkan pikiranku dari Tristan. Mengurung diri di kamar kosan selama berhari hari bukanlah hal baik untuk memngobati sakit hati, justru akan memperparahnya. I can't breathe but I still fight while I can fight. Dan disinilah aku, berada diantara banyak orang dengan berbagai karakter yang dapat mewarnai hidupku. Setidaknya sebagian rasa sakit itu telah hilang. Karena aku tahu, bagaimanapun juga hal itu tidak akan bisa hilang begitu saja dari pikiran dan perasaanku. Dan akan tetap ada disitu. Bayangan Tristan, kenanganku bersamanya, saat saat terindahku dan di hamper semua bagian hidupku, selalu ada Tristan. Mungkin akunya sendiri yang belum mampu menghapusnya, atau aku hanya belum mau?



Just gonna stand there and watch me burn. But that's alright because I like the way it hurts
(Eminem feat. Rihanna)

            Lampu The Stop telah dimatikan, aku baru saja akan pulang saat Damar memanggilku dari arah parkir motor yang sudah agak gelap karena hanya tersinari oleh lampu jalana di pelataran The Stop. Aku berhenti dan menunggunya menghampiriku. Terlalu lelah untuk menghampirinya.
            “lupa punya janji traktir aku?” tanyanya tanpa membuka helm full face hitam merahnya. Aku menggeleng. “kalau begitu traktir aku makan sekarang saja bagaimana?” tanyanya lagi dengan gaya kelaparan memegangi perutnya.
            “tadi kan aku mau traktir minum, bukan makan, mar” langsung teringat uang di dompetku hanya tinggal beberapa lembar lagi. Karena aku punya kecendrungan memakai habis semua uang dalam dompetku, maka aku hanya membawa uang seperlunya saja setiap hari. Kalau tidak modal jalan jalan keliling duniaku bisa hanya tingal kenangan saja termakan nafsu konsumtifku.
            “dasar, sekarang siapa yang mggak mau rugi? Ya sudah, nanti kamu traktir aku minumnya saja. Deal?” tanyanya lagi. Aku tersenyum dan mengangguk. Aku lalu naik ke Tigernya. Dan langsung saja bau Burberry Man khas damar memenuhi indera penciumanku. Lagi lagi membuatku salah tingkah.    “siap berangkat, nyonya?” tanya damar setelah aku memundurkan posisi dudukku untuk menambah jarakku dengannya agar aku tidak lagi terlalu mencium parfumnya itu.
Angin malam itu berhembus cukup kencang, tapi aku tetap tidak merasa kedinginana karena tampaknya darah di tubuhku mendadak mendidih. Kalau bukan malam hari, mungkin warna merah di pipiku akan terlihat jelas.

            Damar meghentikan tigernya di AirAir, sebuah warung tenda yang menjual beraneka macam seafood.
            “yuk!” ajak damar setelah melepas helm full-faced nya lalu merapika rambutnya yang acak acakan akibat ditimpa helm. Walau sebenranya dia tampak lebih keren dengan rambut acak acakannya tadi. Aku mengikutinya memasuki warung tenda itu, yang ternyata walaupun kecil namun sangat ramai oleh pembeli. Tak heran kalau mencium aroma masakan yang keluar dari makanan yang sedang dimasak disana. Sangat menggugah selera.
            “kamu mau makan apa?” tanyanya memberikan daftar menu padaku. Aku melihat ke deretan makanan yang disediakan disana dan plihanku jatuh pada cumi isi udang yang tampak lezat.
            “cumi isi udang sama kepiting asam manis satu ya, to. Nasinya tiga, nggak pakai lama” damar berbicara pada seorang pemuda yang sepertinya baru berusia 15 tahunan dengan akrab.
            “beres, mas damar. Ditunggu ya” jawab pemuda yang dipanggil to itu lalu pergi.
            “kamu sering kesini, mar?” tanyaku melihatnya tampak mengenal dengan baik pemuda tadi.
            “lumayanlah, shei. Rasanya jempolan, tapi ga bikin kosong dompet. Makanya ramai terus” jawabnya. Aku mengangguk setuju karena melihat penuhnya warung tenda itu. Belum lagi orang orang yang masih menunggu di luar tenda.
            Tak lama pesanan kami pun datang dan aku langsung tahu alas an apa yang membuat orang orang rela menunggu di luar untuk mendapatkan tempat di AirAir, karena rasanya memang dahsyat. Sambil menyantap makanan yang terhidang aku dan damar sempat bercerita. Baru aku sadari ini adalah pertama kalinya aku dan damar makan berdua, karena biasanya selalu ada pegawai The Stop lain yang bersama kami. Dan baru aku sadari damar memiliki mata cokelat gelap yang tampak teduh.
            Damar adalah seorang sanguinis yang selalu menarik untuk diajak ngobrol ngalor ngidul. Karena setipa topic tampak hidup kalau berbicara dengannya. Selain ekspresif dan penuh rasa humor, dia juga sedikit kekanakan. Membuatku merasa nyaman. Mau tidak amu akupun merasa tertular semangatnya yang menggebu-gebu setiap kali menceritakan sesuatu.

            “sorry ya shei, kamu jadi pulang malam deh” wajah damar terlihat merasa bersalah setelah mengantarku sampai depan pintu pagar kosanku.
            “ya ampu, nggak apa, mar. kan memang aku yang janji traktir kamu karena sudah menyelamatkan flash drive aku” kataku tulus.
            “iya juga sih, tapi muka kamu capek banget tuh kelihatannya. Istirahat ya” kata damar terdengar khawatir dan lagi lagi mengusap kepalaku. sial! Sial! Kenapa harus kayak begini sih? Batinku merutuki lututku yang mendadak lemas. Untung damar tidak menyadari dan langsung memutuskan pulang karena sudah terlalu malam.
            Belum sempat aku memasuki halam kosanku, aku sudah dikagetkan kehadiran sesosok pria yang seharian ini mengganggu pikiranku.
            “Tristan? Mau apa lagi?” tanyaku tanpa mempersilahkannya masuk. Selain karena sudah malam, aku tak ingin membuatnya merasa diterima. Tidak walaupun sebagian diriku mau mempersilakannya masuk dan membuatkan secangkir teh susu kesukaanya.
            “aku butuh bicara sama kamu, sheira” jawabnya. Kali ini dengan nada memohon yang dulu selalu berhasil meluluhkan hatiku setiap kali kami bertengkar. Tapi tidak kali ini. Aku menggeleng.
            “aku mohon, sheira” katanya lagi sambil menggamit tanganku. Yang lalu aku lepaskan.
            “aku capek, Tristan. Lagipula ini sudah larut malam. Aku tidak enak” aku berusaha menghindarinya dan menujukkan wajah khawatir kalau kalau ada tetangga yang melihat.
            “aku tahu aku salah, sheira. Tapi tolong beri aku kesempatan untuk bicara” masih dengan nada memohonnya, kali ini Tristan memberikan tatapan khas anak anjing yang sendu.
            “Tristan, nggak ada lagi yang harus kita bicarakan. Kita sudah selesai. Dan kamu tahu itu” jawabku berusaha tegas dan menahan air mataku karena tiba-tiba aku teringat kejadian dimana aku melihat Tristan dan Nina hari itu.
            “sheira, aku mohon” kali ini wajah Tristan tampak amat sangat menyedihkan. Ingin aku memeluknya dan bilang segalanya baik baik saja seperti yang sering aku lakukan dulu ketika Tristan merasa putus asa. Tapi aku berusaha menahan keinginanku itu.
            “Tristan, tolong. Aku sangat lelah dan besok aku masih butuh banyak tenaga” kataku lagi sambil balik memandangnya dengan tatapan memohon. Berharap dia mengerti.
            “sheira …”
            “you’ve taken this too far. night, Tristan” aku lalu berbalik meninggalkannya diluar pagar dan menuju kamar kosku masih sekuat tenaga menahan turunnya air mata yang sedari tadi aku bendung.
Aku tahu Tristan masih disana, memandang kepergianku. Karena aku merasakan pandangannya yang tepat mengarah padaku.
            “I won’t give up on you, sheira” katanya kemudian. Aku berusaha mengabaikannya dan menghilang. Menutup kamar kosanku dan menangis sejadi jadinya. Entah apa yang aku tangiskan,kedatangannya yang mengingatkan aku akan kepedihan atas kenangan buruk hari dimana dia mengkhianati aku dengan wanita lain atau kedatangannya yang menyadarkanku bahwa sebagaian hatiku masih sangat mencintai dia sepenuh hati hingga tak mampu membencinya. Yang jelas bagiku saat ini menjauh darinya adalah hal terbaik, untukku dan untuknya.

(Shania Twain-Leaving is the only way out)

I’m not saying I have all the answers
And I don’t care who’s right or wrong
I’m trying to pick up the pieces already falling
And put them back where they belong




“Be nice to people on our way up because you’ll need them on your way down”

            seorang pria setengah baya dengan penampilan khas pengusaha muda, memakai setelan jas dan sepatu pantofel hitam mengkilat, mendekatiku yang sedang mandata buku apa saja yang sudah dikembalikan.
            “ada yang bisa saya bantu?” kataku sambil menunjukkan senyum ramahku.
            “ada The Killer Angels karangan Michael Shaara?” tanyanya dengan suara seraknya. Tercium aroma Issey Miyake Summer yang kuat.
            Aku mengetikkan judul buku itu di search computer The Stop.
            “rent or buy?” tanyaku.
            “buy” jawabnya singkat. Auranya membuatku merasa terintimidasi. Tipe orang yang sangat cocok menjadi dictator.
            “kalau untuk beli, sepertinya harus menunggu. Karena stoknya habis, jadi kami harus re-order” jawabku. “tapi kalau untuk sewa ada” lanjutku.
            “berapa lama?” tanyanya lagi singkat.
            “apanya?” tanyaku bingung.
            “re-order” jawabnya lagi. Busyet, ini orang irit banget bicaranya, pikirku.   
            “maksimal 5 hari” jawabku lagi. Masih menyunggingkan senyum terbaikku.
            “ok” aku bingung dengan arti OK nya itu. “nanti 5 hari lagi saya ambil” lanjutnya lalu pergi meninggalkanku dengan aroma Issey Miyake Summer yang masih bisa aku cium. Aku masih melongo melihat kepergiannya.
            “siapa tuh,shei?” olvita langsung mendekatiku.
            “yang mana?” tanyaku bingung.
            “itu lho yang barusan” katanya sambil menunjuk ke pintu keluar. Aku hanya mengangkat bahu. “lho, memangnya di nggak kasih identitas?” katanya aneh. Memang biasanya The Shop meminta identitas pengunjung yang ingin order buku. Bukan apa apa, karena pernah terjadi The Shop membeli sejumlah buku limited edition yang lumayan mahal dan si pemesannya entah kemana. Dan masalahnya tidak semua buku yang dibeli itu selera umum, jadi beberapa buku itu hanya menjadi pajangan di The Stop.
            “jangankan tanya identitas, kamu tahu nggak kayaknya kosakata dia itu sedikit banget deh. Bicaranya saja irit” takjub aku mengingat kata katanya tadi. Aku yakin itu orang pasti kerjanya bukan again pemasaran. Mau jadi apa perusahaanya kalau pemasarannya dipegang orang seperti itu?
            “but he’s totally hawt!” aku hanya diam saja. Memang sih kalau dilihat orang tadi tampak menarik, sangat menarik. Rambut hitam yang tebal, bentuk muka yang kokoh dengan rahang yang tegas, sorot mata tajam dengan alis mata yang tebal, hidung mancung dan bibir tipis lengkap dipadu dengan kulit putih dan badan atletisnya. Tapi percuma juga kalau bicara dengan orang seperti itu mungkin sama saja dengan bicara sama tembok. “terus kenapa nggak lo tanya? Nanti kalau kejadian kayak waktu itu lagi bagaimana? Repot kan?” tanya olvita.
            “halah, paling kalau dia serius butuh dia juga pasti nanti telepon. Biarin sajalah” jawabku enteng.
            “dasar lo, ada unicorn di depan mata disia siain” tambah olvita lalu pergi. Hah? Apa hubungannya sama unicorn? Pikirku.
           
            Aku baru menyadari ketidaktampakan damar saat teguh menanyakanya pada andika ketika aku ingin menyeduh pop mie di pantry.
            “ga tahu juga tuh. Daritadi gue sms juga ga balas itu anak” jawab andika
            “sakit mungkin” tambahku mengingat semalam dia pulang larut menghadapi angin yang lumayan menusuk tulang.
            “orang kayak dia mana bisa sakit, shei” ucapan teguh disetujui anggukan andika. “penyakit juga malas dekat dekat dia” tambahnya lagi. Merekapun tertawa. Aku baru menyadari aku tidak tahu apa apa tentang damar, kecuali sifat yang dia tunjukan selama ini.
            “lho, memangnya kenapa?” tanyaku bingung. Dia toh bukan superman yang nggak bisa sakit, karena setahuku Clark Kent Si Superman itu juga bisa sakit.
            “imun dia itu setebal badak, lo tau? Kalau pun dia merasa sakit, dia pasti nggak mau bilang. Sakit buat dia itu ngga macho banget” andika menjelaskan padaku.
            “wah. Memang sebegitunya ya? sakit kan wajar” aku masih tidak mengerti. Andika dan teguh saling berpandangan dan mengangkat bahu.
            “that’s damar” jawab andika singkat. Bertambah lagi satu keingintahuanku pada damar. Seorang yang sangat tidak menyukai kopi dan benci sakit.
            “guh, bagaimana kalau beres kerja kita main ke damar? Sudah lama juga kan kita jalan bareng” kata andika tiba-tiba. Teguh terdiam sejenak tampak berpikir.
            “wah, sayang banget gue ngga bisa, ka. Ada janji gue sama teman gue” jawab teguh. Andika tampak kecewa.
            “sama aku saja bagaimana? Tapi pulangnya jangan malam malam. Mau ngaak?” tanyaku mengajukan diri. Selain ingin menemani andika aku juga ingin tahu seperti apa keseharian damar.
            “seriusan, shei?” tanya andika lagi. Aku mengangguk. “tapi gue ngga tahu ya di kosan damar ada jama malam ceweknya apa nggak. Kan kasian lo nya juga kalau lo malah nggak boleh masuk” lanjut andika. Aku sedikit kecewa mendengarnya. Tapi benar juga sih apa yang dikatakan andika. Males banget kan kalau sesampainya disana aku malah disuruh jagaian motor andika di luar.
            “oh, dia kos toh? Aku kira dia asli sini” kataku menutupi kekecewaanku.
            “iya. Kalau ga salah sih dia memang punya rumah disini. Tapi lupa tuh gue. Ya wajar saja, dia mau mandiri mungkin, shei” ya memang wajar sih untuk orang seperti damar. “nanti kalau damar sudah balas sms gue, gue sekalian tanya ke dia deh lo bisa ikut apa nggak” andika lalu pergi meninggalkanku di pantry. Aku mengangguk berusaha tidak tampak terlalu berharap juga.
            Aku mulai bingung dengan apa yang terjadi padaku, mengapa saat ini kehadiran damar mulai berarti untukku. Setidaknya aku ingin menikmati perasaan seperti ini dulu dan menghapus kenanganku dengan Tristan. Damn! Kenapa sih harus Tristan lagi? Ternyata sebagian dirinya masih ada dalam ingatanku, ataukah seluruhnya? Aku hanya menyadari, melupakan Tristan tidaklah semudah yang aku pikirkan. Bagaimanapun aku mencoba, Tristan masih tetap ada. Sangat jelas dan nyata. Aku hanya tak ingin orang tahu seberapa hancurnya aku akan kehilanganku itu.
            Andika sudah menungguku di parkir motor The Stop. aku berlari kecil ke arahna sambil memegangi sling bag hitam Moozeku. Tak beberapa setelah meningalkan pantry tadi andika mengabariku bahwa aku bisa ikut ke kosan damar dengannya dengan catatan tidak lebih dari jam 12 malam. Siapa pula yang mau berkujung sampai selarut itu? Yang jelas bukan aku. Maka setelah jam kerja The Stop berakhir, aku meminta andika untuk menungguku mengganti seragam The Stop.
            “kenapa nggak langsung pakai saja sih, shei?” tanyanya saat aku sampai di dekatnya. Aku melihat ke arah andika. Masih mengenakan seragam The Stop yang dibalut dengan jaket kulit hitam dan sarung tangannya.
            “malas ah, lagipula kan seragamnya besok masih dipakai. Masa nanti aku kerja seragamku bau keringat?” jawabku sambil mengibaskan tangan di depan hidungku.
            “dasar kalian kaum hawa, sukanya dibikin repot” balas andika dan langsung menyalakan mesin motornya.
            Jalan malam itu sudah tampak lengang dan semakin sepi saat memasuki area perumahan nasional yang memiliki banyak gang dan deretan rumah sederhana yang berdempetan. Beberapa orang tampak duduk mengelilingi sebuah gerobak nasi goring yang terletak dibawah tiang listrik berlampu terang. Dan diantara kumpulan orang itu aku menemukan wajah damar yang sedang asyik menyatap nasi gorengnya. Tidak terlihat sakit sama sekali. Lalu kenapa hari ini dia tidak masuk kerja? Pikirku.
            Seperti menyadari kehadiranku dan andika, damar mengangkat kepalanya yang sedari tadi focus pada piring nasi gorengnya dan melambaikan tangannya.
            “kalian sudah makan?” serunya sambil menunjuk ke tukang nasi goreng yang sedang sibuk dengan wajannya. Aku dan andika mengangguk. andika mengeluarkan sebatang rokok dari saku jaketnya yang langsung aku rampas dan aku masukkan ke dalam tasku.
            “berapa kali aku bilang, jarak kurang dari semester sekitarku itu area bebas asap rokok, dika” kataku dengan tampang kesal. Dika yang memang perokok berat seperti galang, hanya tersenyum dan memasukan kembali korek gasnya ke dalam saku jaket kulitnya.  Menyingkirkannya dari jangkauanku, karena pasti akan jadi barang sitaanku juga. Tak lama damar menghampiri kami. Dengan hanya mengenakan kaos belel, celana pendek dan sandal jepit swallow yang sudah tipis damar tampak tetap wah di mataku.
            “hei, tumben kalian main?” tanyanya pada kami sambil mengajak kami ke kosannya yang ternyata tak terlalu jauh dari tempat kami berdiri menunggunya. Rumah kos damar kecil bercat putih, dihiasi beberapa pot yang sudah tidak bertanaman dan beberapa sepeda motor terparkir di terasnya, salah satunya adalah Tiger milik damar
            Damar menyuruh kami masuk dan duduk di sofa yang mungkin waktu pertama kali dibeli berwarna biru, tapi sekarang sudah tidak jelas warna dan motifnya lagi karena terlalu sering diduduki. Tidak banyak barang yang ada di ruang tamu kecil itu. Hanya satu set sofa using, lemari sudut yang berisi helm dan rak sepatu yang ironisnya dikelilingi sandal dan sepatu yang tak teratur di lantai.
            “mau minum apa?” tanya damar sambil menyingkirkan handuk yang tersampir di pinggir sofa, entah milik siapa.
            “gaya lu, mar. memangnya disini ada apa saja?” seloroh andika sambil membuka jaketnya karena gerah. Damar hanya tertawa. Pandangannya kini menatapku yang sedang neyelidik ke seluruh ruangan.
            “kenapa, shei?” tanyanya tampak khawatir dengan apa yang ada di pikiranku.
            “eh, nggak apa” kebiasanku saat mengunjungi tempat baru adalah mengamatinya dengan seksama dan mencari hal baru apa saja yang bisa aku temukan. Kadang memang terlihat tidak sopan, tapi bagaimana lagi, itu memang sudah bawaanku. Adriana selalu mengomentari sifatku itu.
            “kamu sudah lama di sini?” tanyaku sambil mencari tanda kehidupan lain di rumah itu.
            “lumayanlah. Kalau kamu mau lihat teman sekosanku jam segini percuma saja, mereka sudah pada molor. Tadi habis isya pada main futsal pol polan. Jadilah jam segini sudah tewas” katanya seolah mengetahui arah mataku.
            “lo ngapain seharian ini absen? Gue kira lo sakit, ya walaupun nggak mungkin banget sih” tanya andika. Aku baru sadar maksud tujuan aku dan andika kemari adalah untuk mencari tahu ketidak munculan damar seharian ini.
            “nggak kenapa kenapa kok, lagi bosan saja” jawabnya singkat. Walaupun hanya pegawai magang, setahuku om haryo sangatlah keras jika menyagkut masalah kedisiplinan.
            “dasar. Definitely you!” andika menambahkan, damar hanya tersenyum mendengarnya. Tapi dibalik senyumnya itu tersirat sebuah ekspresi yang tidak bisa aku jelaskan artinya.
            “damar! Telepon tuh!” sebuah suara dari ruang tengah tiba tiba saja terdengar. Damar lalu permisi untuk menjawab telepon untuknya itu. Andika menatapku dengan tatapan “apa gue bilang”nya.
            Sekitar 5 menit damar berbicara di telepon. Aku baru menyadari mataku sudah 5 watt karena sedari tadi aku optimalkan daya kerjanya.
            “Brakkk!!!” aku dan andika berpandangan mendengar suara kursi yang sepertinya di dorong dengan keras hingga terjatuh ke lantai. Hening.
            “gue bilang gue nggak mau! Berapa kali sih gue bilang sama lo” lagi lagi aku berpandangan dengan andika mendengar suara teriakan damar. Belum pernah aku mendengar damar dengan intonasi setinggi itu. Aku rasa andika juga, karena wajahnya terlihat terkejut mendengar suara damar.
            “terserah kalau itu pilihan lo, yang jelas itu bukan jalan hidup gue!” kali ini aku hanya menunduk saja mendengar teriakan damar dari balik tembok, beruaha tidak mendengar apa apa. Andika pun pura pura sibuk dengan handphone nya. Seiring dengan berakhirnya teriakan itu terdengar suara gagang telepon yang diletakkan dengan kasar. Aku masih heran melihat tidak ada reaksi dari teman teman sekosan damar yang pasti juga mendengar suara damar dengan jelas, sama seperti aku dan andika. Mungkinkah ini sosok asli damar diluar pekerjaanya, yang membuat teman temannya merasa normal normal sja mendengar damar berteriak malam malam di telepon?
            Aku dan andika sepertinya sudah sama sama sepakat untuk bersikap pura pura tak mendengar teriakan damar (yang sangat tidak mungkin sekali, bahkan nenek nenek tuli pun bisa mendengarnya). Tak lama damar muncul dari ruang tengah. Anehnya ekspresinya tidaklah seperti yang kami duga, yang akan kusut dan kesal. Ekspresinya justru seperti biasanya, ramah dan ceria..
            “jadi kalian mau minum apa?” tanyanya lagi seolah tidak ada apa apa. Aku menginjak kaki andika member isyarat padanya untuk pamit dari rumah kos damar.
            “nggak usah, mar. kita kesini Cuma mau make sure lo nggak sakit. Lahian si sheira sudah capek banget tuh. Kasihan kalau kemalaman” andika menatap ke arahku. Aku berpura pura menguap untuk meyakinkan damar.
            “wah, maaf ya jadi merepotkan kalian. Besok kamu ada kuliah pagi, shei?” damar memandangku dengan rasa bersalah. Aku mengangguk cepat, padahal dosen kuliah pagiku besok sedang seminar di luar kota, jadilah aku bisa punya waktu tambahan untuk bermalas malasan di kasurku.
            “yang penting kamu nggak sakit” kataku berusaha mengurangi rasa bersalahnya. Tapi aku benar benar merasa lega dia tidak apa apa.
            “makasih banget ya” kata damar lagi. Aku dan andika mengangguk dan mengundurkan diri untuk pulang. Damar yang mengantar kami sampai pintu pagar masih memasang muka ramah dan ceria seperti biasanya.
           
            “itu anak kenapa sih?” andika langsung buka suara setelah kami keluar dari komplek perumahan nasional tempat damar kos, seolah kata katanya akan terdengar bila dia mengucapkannya ketika masih di dalam komplek perumahan nasional itu.
            “memangnya kenapa?” tanyaku bingung menanggapi pertanyaan andika yang entah ditunjukan pada apa.
            “itu, mukanya bisa saja biasa biasa saja seperti nggak ada apa apa, padahal tadi jelas banget kita dengar dia marah-marah di telepon”
            “ooh, mungkin tadi dia kelepasan saja kali” kataku berusaha berpikir positif.
            “kalau Cuma kelepasana nggak akan membanting kursi segala kan?” andika menambahkan. Aku mengakuinya dalam hati. “lagian, apa itu tampangnya masih bisa cengar cengir di depan kita. Gue suka sebal sama sikap dia yang seperti itu” andika melanjutkan omelannya. Aku tahu perasaan dia, mungkin dia merasa kesal karena damar tidak menganggapnya teman. Aku juga kadang merasa kesal kalau adraian atau galang menyembunyikan sesuatu dariku. Gunanya teman memang untuk berbagi kan?
            “dia nggak mau bikin orang lain khawatir kali” kataku lagi berusaha netral. Andika hanya mendengus kesal. Sebegitu tertutupnyakah damar hinngga teman terdekatnya pun  merasa seperti itu? Aku menepuk pundak andika lembut untuk menenangkan kekesalannya.
            “dika, when a friend is in trouble, don’t annoy him by asking if there’s anything you can do. But think up something appropriate an do it. Mungkin sekarang damar lagi penegn diam dulu, kamu jangan malah bikin dia tambah pusing sama marah marah kamu itu” kataku member pengertian pada andika.
            Satu hal yang aku takjub dari hubungan pertemanan para pria adalah, mereka sangat menghargai persahabatan tanpa harus ikut campur dalam urusan pribadi seseorang. Mereka mudah untuk bersikap setia kawan tapi juga menjaga batasan mana saja yang dapat mereka masuki dalam kehidupan seseorang.




“We cannot decide who is on the right path and who is not,because our own life is series of unexpected events passing through times, situations and circumstances”
(Santosh Kalwar)
           
            Aku tidak pernah menyangka akan menemukan Tristan di depan kamar kosanku sepagi ini, setidaknya setelah kami putus. Tapi pagi itu, dimana aku berharap hariku berjhalan dengan baik karena aku bermimpi indah bersama channing tatum semalam, aku justru mendapat pemanasan yang benar benar membuat panas. Entah sudah berapa lama Tristan menungguku di dekat pagar kosanku. Dari kaleng minuman soda yang ada di dekatnya dia sudah cukup lama berdiri disana. Kalau saja Tristan tidak keburu melihatku keluar, aku akan langsung mengurungkan niatku membuang sampah. Tapi Tristan, yang sepertinya memang sudah siapa akan kemunculanku setiap saat langsung memintaku memukakan pintu pagar untuknya.
            Aku tidak mau orang lain mengira aku kejam karena menelentarkan orang di luar pagar. Jadilah dengan berat hati aku terpaksa membukakan pagar untuknya.
            “pagi, sheira” sapanya hangat. Aku yang sudah telanjur malas melihat kedatangannya mengganggu harapan pagi hariku hanya tersenyum dipaksakan.
            “apa lagi?” tanyaku sambil menaikkan ritsleting jaket ungu Ouval Reserachku, pagi itu memang cukup dingin.
            “aku ingin kamu beri aku satu kesempatan lagi, sheira” katanya kali ini tanpa basa basi. Sorot matanya memancarkan kesungguhan.
            “untuk apa, Tristan?” tanyaku lagi. Aku menarik napas perlahan dan mengatur emosiku. “antara kita sudah selesai, dan aku tidak mau merasakan sakit itu lagi” lanjutku menekankan kata sakit itu, sekadar untuk mengingatkan dia. Tristan tertunduk, mengetahui apa yang aku maksudkan dengan sakit hati.
            “maaf, sheira. Aku benar benar menyesal” aku mendengar lirih suaranya dan kemudian tanpa aku sadari dia sudah berlutut di hadapanku. Memegang kedua kakiku. Aku yang tidak siap menerima sikapnya itu berusaha melepaskan diri darinya.
            “Tristan, lepas! Lepas” tapi dekapan Tristan semakin kuat.
            “aku tidak akan melepaskannya sampai kamu mau memberi aku kesempatan” aku yang berusaha sekuat tenagapun tak dapat melepaskan diri dari Tristan. “aku khilaf, sheira. Saat itu aku amat sangat butuh kamu, tapi kamu nggak ada. Maafkan aku, sheira” aku masih berusaha lepas darinya dan melihat ke sekitarku, berharap tidak ada orang yang melihat adegan memalukan ini. Karena bagaimanapun juga aku yang akan menjadi pemeran antagonis dalam scene ini.
            “Tristan, tolong lepaskan. Kamu hanya membuat kita berdua malu” kataku semakin khawatir karena Tristan tidak juga menunjukkan tanda akan melepaskan aku.
            “aku akan tetap seperti ini sampai kamu kasih aku kesempatan. Sheira, aku mohon” suara Tristan semakin memelas. Aku mulai bingung dan bimbang akan perasaanku. Aku tidak mau melihat Tristan tak berdaya seperti ini, tapi aku juga tidak mau sakit hati lagi. Susah bagiku untuk mempercayai seseorang yang telah mengkhianti kepercayaanku, dan itu berlaku untuk siapapun termasuk Tristan.
            “Sheira” sebuah suara yang sangat familier dan yang kehadirannya sangat aku butuhkan.
            “damar” kataku menatapnya sambil memohon member isyarat padanya untuk melepaskanku dari Tristan. Damar sepertinya mengerti dan memegang pundak Tristan.
            “maaf, sepertinya lo nggak sebaiknya kayak begini” Tristan mengangkat wajahnya dan menatap damar.
            “lo siapa? Ini urusan gue sama sheira” Tristan masih menatap menyelidik.
            “tapi sepertinya sheira terganggu dengan cara lo” damar menunjuk ke arahku yang memang frustasi menghadapi Tristan.
            “urusan lo apa sih?” Tristan bangkit dan memandang damar dengan penuh emosi. Mencengkram kerah jaket damar. Damar berusaha melepaskan tangan Tristan dari jaketnya.
            “gue Cuma bilang, cara lo itu mengganggu sheira. Apa lo nggak lihat dia ketakutan begitu” damar masih dengan ketenangannya berhasil melepas cengkraman Tristan. Kali ini Tristan yang menatapku.
            “dia siapa,sheira?” tanyanysambil menatapku seperti seorang polisi yang menginterogasi seorang pencuri. Aku yang masih shock dengan sikapnya tadi hanya diam saja. “dia juga kan yang waktu malam itu mengantar kamu” tanyanya lagi dengan nada menekan karena tidak mendapat jawaban dariku. Aku berusaha mencerna apa yang dimaksud Tristan. Tapi clueless.
            “Tristan, cukup! Jangan bertingkah seperti anak kecil” aku menarik tangan Tristan yang bersiap memukul damar. “aku tidak mau melihat kamu lagi” kataku akhirnya menarik tangan damar untuk mengikutiku masuk ke dalam dan meninggalkan Tristan di luar pagar.
            “siapa tuh?” tanya damar setelah masuk ke dalam kamarku sambil masih memandang keluar jendela.
            “my ex” jawabku singkat malas memberikan cerita panjang lebar tentang apa, mengapa dan bagaimana damar bisa menemukan aku dan Tristan dalam keadaan seperti tadi. Aku membuka kulkas dan mengambil van houten ritter sport dari dalamnya.
            “wah, aku kira adegan kayak tadi Cuma ada di film romatis saja/ nggak tahunya benar ada” aku tahu damar berusaha bercanda, tapi moodku terlalu jelek untuk sekadar dihibur dengn candaanya itu. Aku memotong ujung batang cokelat itu dan memasukannya ke dalam mulutku, merasakannya melumer di mulutku. Damar menatapku.
            “apa sih?” tanyaku risih dan juga gugup menerima tatapannya itu.
            “aku kira kamu mau bikin kopi, nggak tahunya malah tambah kalori sama cokelat” jawabnya tersenyum.
            “aku tahu kamu nggak suka aroma kopi, makanya daripada nanti kamu ikutan bad mood juga gara gara aroma kopi, jadi aku makan cokelat saja. Lagian memang makan cokelat segini ngefek apa sih sama berat badan?” tanyaku.
            “wah, ternyata kamu masij memikirkan orang juga toh walaupun lagi marah?” pertanyaan damar lebih terdengar seperti komentar di telingaku. “jadi, kenepa sama mantanmu itu?” tanyanya sambil membenarkan posisi duduknya. Aku hanya mengangkat bahuku. Malas untuk membahasnya. “minta balikan?” tanyanya lagi. Aku mengangguk malas. “terus kenapa nggak mau? Kayaknya dia cinta mati banget tuh sama kamu” aku melemparnya dengan sandal kamar bugs bunny yang aku pakai. Damar bukannya marah malah tersenyum jahil.
            “sudah deh, nggak usah rese. Dalam hidup aku nggak aa yang namanya balikan lagi. Ibaratnya kaca, kalau pecah walaupun berusaha sebisa mungkin menyambungnya tetap saja ga bisa sebagus seperti awal kita beli. Nggak bisa dipakai ngaca. Cuma akan menampilkan gambar nggak bagus” aku mulai memberi pengertian damar agar tidak lagi mengungkit masalah itu denganku. Tapi sepertinya damar tidak mengerti juga.
            “tapi kalau alasannya tepat kan nggak ada salahnya mencoba, memangnya kamu nggak males ya mulai hubungan dari awal lagi?” damar masih memojokkanku dengan gaya santainya.
            “masih banyak orang baik diluar sana, kenapa aku ga coba memebrikan kesempatan pada mereka daripada harus gambling dengan orang yang sudah jelas jelas menyakiti aku” aku memeprthankan keputusanku untuk tidak memebri Tristan kesempatan. Dia berlari ke pelukan wanita lain karena aku tidak ada saat dia butuh adalah bukan sebuah alas an, tapi lebih sebagai pembenaran atas perilakunya.
            “iya deh, terserah kamu saja baiknya bagaimana” kata damar akhirnya.
            “daritadi juga kan aku bilangnya begitu” aku mendengus kesal merasa sia sia berdebat dengannya. “lho, kamu ngapain pagi pagi datang ke sini?” setelah pikiranku mulai normal lagi, aku baru menyadari kedatangan damar cukup mengejutkan
            “oia, aku sampai lupa!” damar menepuk keningnya dan membuka backpack hitam yang tadi disandangnya. Dikeluarkannya sebuah tempat makan berwarna biru muda dan diberikannya padaku. “nih” katanya padaku. Aku menerima kotak makan itu dengan tatapan bingung. Damar menyuruhku untuk membuka tutup tempat makan itu. Beberapa lapis pancake yang tertata rapi dan bluberry syrup yang dipisahkan si tempat kecil dalam kotak makan.
            “semalam makasih sudah khawatir sama aku sampai jenguk aku ke rumah” katanya menjelaskan maksudnya memberikan pancake itu padaku.
            “dan ternyata kamunya nggak kenapa kenapa” aku menambahkan dengan nada sebal mengingat alas an dia tidak masuk kerja kemarin. Damar tersenyum, membuat hatiku berdesir. Aku lalu mengambikl sendok dan menyiram blueberry syrup itu diatas tumpukan pancake yang kecoklatan.
            “wuah, enak banget!” kataku setelah memasukkan sesuap pancake itu ke mulutku. Damar tampak puas. “aku nggak tahu kamu bisa masak” kataku kemudian.
            “aku memang terbiasa masak dari dulu shei”
            “wah, hebat dong! Aku saja jarang masak. Paling Cuma bisa masak air sama mi saja. Soalnya mama yang lebih sering masak” aku masih memasukan potong demi potong pancake ke mulutku.
            “aku nggak seberuntung kamu yang bisa merasakan masakan mamamu” katanya lirih, tersirat kesediah di wajahnya. Tapi hanya sepersekian detik, dan langsung tergantikan dengan wajah cerianya. “bagaimana kalau lain kali aku ajarin kamu masak, malu kan kalau kamu nggak bisa masak?” tanyanya bersemangat.
            “aku kan berharap punya pacar kayak Edwin Lau, badan bagus, ganteng, jago masak lagi”
            “hahahaha,,masalahnya apa orang kayak begitu mau sama kamu?” tanya damar menggodaku. Aku hanya membalasnya dengan pandangan marahku.

            aku dan Damar sampai di The Stop lebih pagi, karena aku dan dia sebenarnya mendapat shift sore. Tapi aku memaksanya untuk berangkat lebih dulu ke The Stop karena ada beberapa buku baru yang ingin aku baca. Damar sempat marah padaku karena membohonginya semalam kalau aku ada kuliah pagi itu. Jadilah dia mengomel kalau dia tidak harus bangun pagi pagi sekali dan membuatkan pancake itu untukku. Tapi aku bresyukur, karena itu dia bisa datang tepat waktu. Tepat saat aku membutuhkannya untuk membatuku lepas dari Tristan.
            Saat memasuki pintu The Stop aku melihat seorang pria dengan wajah kesal berdiri di depan meja kasir. Pria dengan setelan khas eksekutif mudanya yang kali ini mengenakan kacamata hitam keluaran Ray-Ban. Si pria irit dengan kosakata sedikit yang datang tempo hari. Melihatku masuk, maya langsung menghampiriku dengan tampang wajah khawatir.
            “kenapa may?”
            “shei, kamu ingat nggak sama orang itu?” tanya maya sambil menunjuk ke arah si pria irit itu, aku mengangguk. siapa sih yang akan lupa dengan keiritannya berbicara. Memang sih ada pepetah mulutmu harimaumu, tapi nggak begitu juga kan iritnya. “ingat nggak dia pesan buku apa?” tanya maya lagi. Aku terdiam berusaha mengingatnya lalu menggeleng. Maya makin menunjukkan tampange frustasinya. “orang itu mau ambil buku orderannya, sheira. Dan bahkan aku saja ngga tahu dia order buku apaan” katanya histeris. Maya memang tipe orang yang mudah panic, apalagi menyangkut masalah dengan orang lain.
            Aku yang merasa bertanggung jawab atas kejadian ini lalu menghampiri si pria berbicara irit itu. Aku merasakan aura intimidasi semakin kuat saat aku semakin mendekat ke arahnya. Dia membuka kacamata hitam Ray Bannya. Tatapn amatnja yang tajam seakan menusuk tepat ke jantungku, membuatku mengurungkan niatku semakin mendekatinya.
            “jadi, mana buku yang saya pesan?” tanyanya langsung tanpa basa basi setelah aku cukup dekat dengannya.
            “maaf, waktu itu saya kira anda hanya menanyakan dan tidak berniat order” aku berusaha menjelaskan padanya. Kuberanikan diri menatap matanya.
            “jadi intinya tidak ada?’ tanyanya lagi dengan intonasi menekan. Membuatku merasa bersalah.
            “iya. Lagipula anda tidak memberikan nomor yang  isa dihubungi untuk konfirmasi  lagi” jawabku berusaha membela diri.
            “itu kan kerjaan kamu untuk menanyakannya. Sayak kira waktu itu kata kata saya cukup jelas” aku hanya terdiam. Memang sih itu pekerjaanku, tapi bisakan dia sediki bekerja sama, batinku kesal. Aku melihat damar masuk sambil membawa helm full-faced nya dan memandangnya dengan tatapan memelas meminta bantuan. Damar seolah mengerti lalu menghampiri meja kasir.
            “Dimas?” damar tampak kaget ketika melihat si pria irit bicara itu. Pria irit bicara yang bernama dimas itu justru tenang tenang saja.
            “hai damar” sapanya ringan. Namun aku melihat perasaanya saat megatakan itu tidaklah seringan nada bicaranya.
            “ada apa kesini?” tanya damar lagi yang menekan kata katanya seolah menahan sesuatu. Dimas menunjukku.
            “aku ingin mengambil buku pesananku, tapi rupanya teman kamu ini bukan pegawai yang cakap. Mengecewakan” aku yang menerima lirikan dimas hanya bisa terdiam. Kenapa kali ini bicaranya tidak seirit waktu itu saja, batinku kesal. Seenaknya saja mengataiku tidak cakap.
            “hanya itu?” aku kaget mendenga kata kata yang keluar dari mulut damar. Aku kira dia akan berdiplomasi menyelesaikan masalah ini. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya itu? Sekilas aku melihat ekspresi takut di wajah damar, atau itu hanya ilusiku saja. Karena tidak mungkinkan seorang damar bisa begitu.
            “hanya itu” jawab dimas singkat. Dia lalu mengeluarkan kartu nama dari dompetnya dan meninggalkannya di atas meja kasir. “hubungi saya kalau bukunya sudah ada” katanya lalu berbalik meninggalkan kami. “oia, mar. papa pasti akan sangat senang kalau kamu mau sesekali mengunjunginya” tambhanya lagi sebelum benar benar meninggalkan kami dan keluar dari The Stop.
            Aku mengambil kartu nama yang ditinggalkan dimas di atas meja untuk mencatat nomor telepon dan buku yang dia order. Dimas Yudhistira Soeryo. aku menatap damar yang masih terdiam. Rahangnya mengencang dan mukanya tak lagi seramah biasanya. Bukan damar yang aku kenal selama ini.tanpa berkata apa apa, damar lalu pergi ke ruang ganti The Stop. aku masih berusaha merangkai potongan potongan kejadian tadi. Dan kesimpulanku mengatakan bahwa Damar dan Dimas adalah saudara. Pantas, aku mersa familiar dengan wajah dimas, karena wajah mereka hampir setipe. Hanya aura yang terpancar dari mereka saja yang berbeda.
           
            Aku melihat lampu pantry masih menyala saat aku hendak pulang. Aku sempatkan diri mampir sejenak dan mematiakannya. Saat aku memasuki pantry, aku melihat damar, duduk di salah satu kursi pantry dengan kedua tangan memegangi kepalnya yang tertunduk. Aku berniat langsung pergi tanpa suara karena tak ingin mengganggunya. Tapi terlambat, damar sepertrinya menyadari kehadiranku dan mengangkat kepalanya. Menatapku.
            “belum pulang, shei?” tanyanya berusaha terdengar biasa. Namun ekspresinya tidaklah seperti biasanya. Tampak tersirat kesedihan dan kekalutan di wajahnya. Aku menggeleng.
            “kamu sendiri?” tanyaku lalu berjalan mendekatinya. Secangkir the, tang kini hanya berisi setengahnya saja menemani damar diatas meja. Aku juga melihat sebungkus rokok mild di balik cangkir teh nya itu. Aku sedikit terkejut karena aku tidak tahu bahwa damar juga seorang perokok seperti andika. Melihat keterkejutanku damar langsung meraih bungkusan rokok itu dan memasukan ke dalam saku jeansnya.
            “kenapa belum pulang?”
            “tadinya sudah mau pulang. Tiba tiba mau ngopi, tapi ternyata ada kamu disini. Jadi batal deh” jawabku dan meletakkan big brown bag moozeku di atas meja. Damar memandangku heran. “kamu kan nggak suka bau kopi. Jadi aku batal ngopi deh” jawabku atas pandangan herannya. Damar beranjak dan membereskan cangkir tehnya sebelum menghabiskan setengah tehnya yang masih tersisa. Setelah mencuci dan meletakkan cangkirnya, damar nmengambil black backpacknya.
            “kamu sudah mau pulang?” tanyaku. Damar hanya mengangguk singkat.
            “kalau aku pulang kamu kan jadi bisa puas minum kopi” damar memandangku. Aku hanya tertawa.
            “ya ampun damar, I was joking!” kataku sedikit terharu dengan sikapnya yang mengalah demi aku. Such a small but sweet thing. “I was joking” tegasku dan menyuruhnya untuk duduk kembali. Damar tersenyum dan duduk di hadapanku.
            “jadi, bagaimana kalau sekarang kamu minum the saja?” damar menawariku, aku yang memang hari itu sudah terlalu banyak mengonsumsi kafein, menerima tawarannya. Damarpun beranjak dan meyeduh dua cangkir teh plus madu.
            “thanks ya” aku menghirup aroma teh yang masih sedikit panas itu. Tidak kalah menenangkan dengan aroma kopi, pikirku.
            “tahu nggak, katanya kalau orang yang suka teh itu kepribadiannya santai. Apa apa dibawa enjoy dan nggak suka diburu buru. Kamu banget tuh” aku teringat akan sebuah artikel yang pernah aku baca.
            “terus kalau penggemar kopi bagaimana?” damar tampak tertarik dengan pembahasanku.
            “hmm,,kalau penggemar kopi itu orangnya hardworker, pekerja keras, terus suka ambisius” tambahku.
            “maaf ya soal kejadian tadi siang” damar mulai membuka pembicaraan.
            “lho, memang aku yang salah kok, mar. wajar orang tadi marah” katakuberusaha bijak walaupun sebenarnya hatiku tidak terima juga.
            “orang tadi itu kakakku” aku yang memang sudah mengira sedari tadi tidak kaget mendengarnya darei mulu damar.
            “pantas. Aku seperti familiar dengan mukanya waktu pertama kali lihat. Ternyata dia kakak kamu. Setipe sih” kataku dan memperhatikan wajah damar dan membandingkannya dengan dima. Bentuk wajah yang sedikit kotak, dengan rahang yang tegas dan sorot mata yang tajam.
            “jangan samakan aku dengan dia” aku melihat wajahnya berubah menegang saat mengucapkan kalimat itu, membuatku bingung. Nadanya pun meninggi
            “maaf” kataku merasa bersalah karena membuatnya kesal.
            “sorry. Aku nggak seharusnya marah sama kamu” wajahnya kembali seperti biasa lagi. Damar bisa menjadi seorang actor yang hebat kalau dia mau mengasah bakat alaminya berganti raut wajah dalam waktu sepersekian detik. “ aku Cuma nggak suka disamain dengan orang lain apalagi dengan dia” aku mendengar suaranya bergetar, entah menahan kesal atau tangis. Aku bingung harus bagaimana.
            “sorry, mar. aku nggak maksud” kataku merasa amat sangat bersalah. Damar hanya terdiam. Aku beranukan diri menggenggam tangannya, berusaha memberikan kekuatan padanya. Tanpa kuduga damar mengencangkan genggaman tangannya. “cerita saja kalau kamu mau, mar” kataku merasakan kesedihan yang sangat dalam mengalir melalui genggaman tangannya. Dia melepaskan genggaman tanganku setelah hamper 5 menit menggenggam, mencengkramnya lebih tepat, dan membuat t.elapak tanganku basah. Diambilnya cangkir the miliknya yang sudah tidak mengepul lagi



“Family is just an accident. They don’t mean to get on your nerves. They don’t even mean to be your family. They just are”
(Marsha Norman)
           
            13 tahun sebelumnya.
            Yang damar tahu selama ini keluarganya adalah layaknya keluarga normal lainnya. Keluarga kecil biasa yang terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak. Semuanya tampak biasa sampai akhirnya suatu hari damar mendapati dimas, yang saat itu berusia 17 tahun, tengah memukul ibunya.
            “abang!” damar, yang saat itu masih berusia 13 tahun, menghampiri ibunyayang tak berdaya di lantai. Wajah ibunya basah dengan air mata. “abang sudah gila ya?” damar yang walaupun saat itu jauh lebih kecil dari dimas berniat membalas perlakuan dimas pada ibunya.
            “kamu mau apa?” tantang dimas. Damar yang hendak maju ditahan oleh ibunya.
            “abang nggak sadar apa sama yang abang lakuin ke mama?” suara damar dikuasi emosi. Tangannya terkepal. Tapi mamanya tetap menahannya.
            “dia bukan mama aku” dimas menunjuk kea rah mama dan pergi meninggalkan kami. Saat itu damar baru tahu kalau dimas bukanlah kakak kandungnya. Punggung yang selama ini selalu dia ikuti dari belakang penuh panutan, ternyata tega menyakiti mamanya.
            “kenapa mama nggak pernah cerita?” tanya damar.
            “masalahnya rumit, mar. mama menunggu waktu untuk bicara dengan kalian” kata mama nya disela isakan tangisnya.
            “memangnya kenapa, ma? Memiliki saudara tiri itu hal yang biasa kan? Kalau begini kan malah jadi salah paham” damar yang saat itu masih sangat muda masih tidak memahami apa yang terjadi.
            “mama tahu, mama yang salah. Harusnya memang mama sudah bilang sejak dulu. Tapi mama takut kalian belum cukup umur untuk mengetahuinya” air mata mama kembali mengalir. Damar sebenranya ingin mencegahnya, tapi dia juga ingin mengetahui apa yang sebenarnya membuat kakaknya berubah menjadi seperti malin kundang.
            “mama sudah mengenal papamu dan tante anggi, mama kandung dimas, jauh sebelum mama menikah. Kami bertiga berteman sangat dekat. Mama dan papamu, sudah berpacaran. Seperti yang kamu tahu, keluarga mama adalah keluarga biasa saja. Tidak seperti keluarga papa dan tante anggi. Tapi ternyata kekayaan tidak bisa menolak takdir. Tante anggi terkena kanker payudara stadium akhir” damar masih belum mengerti kemana jalan cerita mamanya mengarah. “saat itu, mama yang mendapat tawaran beasiswa ke London memutuskan untuk mengambil tawaran itu dan meninggalkan  papa, dan saat mama pulang ke Indonesia beberapa tahun setelahnya, mama dengar papa sudah menikah dengan tante anggi” damar menahan napas mendengar ecrita mamanya. Tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mamanya saat itu. Mengetahui seseorang yang dicintainya menikahi sahabt baiknya.
            “terus kenapa mama bisa menikah sama papa? Apa jangan-jangan …” damar menatap mamanya penuh tanya dan curiga. Dia tidak sanggup membayangkan dirinya menjadi anak dari sebuah hubungan terlarang kedua orang tuanya.
            “setelah pulang ke Indonesia, mama kaget mengetahui hal itu. Mama sempat frustasi. Tapi suatu hari tante anggi datang menemui mama. Beliau cerita alasan mengapa sampai menikah dengan papa dan tidak memberitahu mama dulu” mamanya menghentikan seritanya seolah itu adalah hal berat yang diucapkan.
            “papamu mau menikahi tante anggi karena saat itu tante anggi sudah stadium akhir kanker payudara, mama mengerti menjadi seorang ibu adalah kebahagiaan terindah seorang wanita, maka dengan alasan itu papa mau menikahi tante anggi. Tante anggi amat merasa bersalah hingga dia tidak mampu memberi tahu mama” perlahan air mata mengalir dari pelupuk mata mamanya. Damar tidak tahan melihatnya. Disekanya air mata yang mengalir di pipi mamanya. Saat itu damar entah harus salut atau membenci papanya yang tega begitu saja menikahi perempuan lain walaupun dengan alasan seperti itu.
            “dan entah darimana dimas berpikiran bahwa mama menghancurkan rumah tangga tante anggi dan papa yang menyebabkan mamanya meninggal. Makanya tadi dia marah sekali sama mama” mamanya melanjutkan ceritanya.
            “tapi itu kan bukan salah mama, itu kan ...” sebelum damar sempat melanjutkan kata katanya mamanya lebih dulu memotongnya.
            “nggak apa, mar” damar ingin mendebatnya, tapi tak sanggup lagi dia melihat mamanya yang berusaha kuat menahan kesedihannya.
            Sejak saat itu hubungannya dengan dimas, kakak tirinya, menjadi sedingin es. Tidak pernah lagi bertegur sapa bahkan saat mereka berpapasan di dalam rumah. Dan keadaan itu semakin parah saat mamanya meninggal dan damar memutuskan untuk tinggal bersama neneknya lalu memilih kos sambil bekerja.
            Sulit membiarkan dirinya berada di dekat dimas yang auranya selalu seakan mengintimidasinya. Papanya bukan tidak tah akan hal itu, tapi beliau memilih diam. Sebagian hatinya merasa bersalah karena itu semua berasal dari keputusannya di masa lalu, namun sebagian lagi beliau ingin melihat anak lelakinya tumbuh dengan kekuatan sendiri. Tak pernah menyangka damar memutuskan untuk pergi dari rumah.
            Sampai sekarang damar belum bertemu dengan papanya lagi. Dia bahkan hanya samar mengingat wajahnya. Tapi toh itu tidak penting bagi hidupnya. Selama dia mampu bertahan sendiri semuanya akan baik baik saja. Dan memang baik baik saja hingga akhirnya dia bertemu dengan dimas, kakak tirinya. Yang selama ini hanya pernah dilihatnya di televisi dan beberapa majalah bisnis. Karena Dimas Yudhistira Soeryo adalah salah satu pengusaha muda yang sukses. Anak dari Mahesa Adi Soeryo seorang pengusaha indonesia yang sukses.
            Dan pertemuan itu membuatnya mengingat hari itu. Hari dimana damar pertama kali melihat mamanya menangis.



“Forgiveness is the remission of sins. For it is by this that what has been lost, and was found, is saved from being lost again”
(Saint Augustine)

            Aku terantuk di kasurku sambil memegang buku The Humongous Book of Statistics Problems. Deretan angka selalu membuatku mudah mengantuk, entah ada hubungan apa antara otak, mata dan deretan angka itu, yang jelas selalu berhasil membuatku tertidur kurang dari 5 menit. Tiba tiba sebuah suara beraal dari jendela kamr mengagetkanku. Aku mendekati jendela dan membuka tirainya. Sebuh batu yang dibungkus oleh kertas.
            “sheira” sebuah suara memanggilku dari luar pagar. Tristan. Aku refleks memasang muka tak bersahabat. Berhubungan dengan angka saja sudah membuatku pusing apalagi harus menghadapi seorang tristan. Dengan hanya menggunakann piyama hello kitty, aku keluar menemuinya. Tidak mau membuatnya menjadi gargoyle penjaga pintu kosanku.
            “apa lagi” tanyaku kesal. Tristan hanya terdiam.
            “bisa nggak kamu nggak bersikap sedingin itu sama aku?” tristan balik bertanya padaku. Pertanyaan bodoh, batinku.
            “iya, ada apa??” tanyaku lagi dengan nda sedikit, sedikit, bersahabat.
            “aku mau pamit, shei”
            “kemana?” mau tidak mau aku penasaran juga.
            “jerman” jawabnya singkat.
            “ooh” aku tidak tau harus berkomentar apa lagi. “aku mau berobat disana”
            “berobat? Jauh banget sampai ke jerman? Bilang saja mau main sekalian liburan” kataku tak habis pikir dengan kelakuannya. Memangnya di indonesia sudah nggak ada lagi rumah sakit bagus apa?
            “mama yang suruh aku, shei” aku hanya mengangguk saja. Kelakuan orang banyak uang suka aneh aneh ya.
            “memangnya kamu sakit apa??” tanyaku kemudian memcah keheningan yang terjadi antara aku dan tristan.
            “hepatitis c, shei”
            “ooh, hepatitis. Si andre waktu itu juga hepatitis tapi nggak sampai berobat ke luar negeri kok. Dasar kamunya saja tuh” kataku setengah bercanda.
            “aku hepatitis c, shei” dia menekankan kata katanya untuk meyakinkanku. Tapi aku tetap menatapnya. Terus kenapa, pikirku tak mengerti maksudnya. “hepatitis c itu yang paling parah. Dan aku stadium akhir” lanjutnya melihat ekspresi tak menegrtiku. “i’m dying, shei” katanya terdengat hopeless. Aku bingung harus bagaimana. Kurasakan serangan aneh yang mengalir di punggungku saat mendengarnya.
            “kok bisa?” pertanyaan bodohku.”maksudku, kok bisa tiba tiba stadium akhir?” tanyaku lagi meralat pertanyaan bodohku.
            “hepatitis c memang begitu, shei.” Katanya lalu terdiam. “aku Cuma mau minta maaf sama kamu” tristan menggengam tanganku erat sangat erat malah. Tapi aku tidak mersakan ketakutan, justru kesedihan dan keputus asaan.
            “iya, tristan. Nggak apa. Kamu tenang saja” kataku sambil memegang pundaknnya berusaha menunjukkan simpati dan menyemangatinya.
            “aku sekarat, shei. Dan aku nggak tahu apa aku masih bisa ketemu kamu lagi” katanya lagi. Nada suaranya bergetar, menahan tangis.
            “semua akan baik baik saja, tristan. Jerman itu canggih lho” kataku berusaha menhiburnya, walaupun aku sendiri tiak begitu yakin dengan kata kataku sendiri.
            “maaf karena sudah menyaikiti kamu” katanya lagi. Entah berapa juta kali dia mengucapkan kata itu padaku.
            “iya, tristan. I did” kataku sambil tersenyum “ kamu jangan putus asa ya” aku mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk.
            “ i wish i had another time with you, shei” aku terdiam. “tapi aku tahu aku salah dan kamu berhak marah” tristan melepaskan genggamannya. “aku boleh peluk kamu, shei?” matanya memohon padaku. Aku mengangguk. Tristan memelukku dengan sangat erat seolah itu pelukan terakhirnya yang sangat berharga. Dan aku membiarkan diriku tenggelam dalam pelukan dan kesedihannya.
            Aku melihat mobil adriana di kejauhan, perk=lahan aku berusaha melepaskan pelukan tristan, yang memang agak susah. Aku tahu, adriana pasti akan mengomeliku kalau melihat aku dan tristan berpelukan.
            “maaf” kata tristan.
            “iya, nggak apa” jawabku. Akhirnya swift putih adriana berhenti tepat di sampingku. Dan seperti yang sudah kuduga, mata adriana tampak memandang tajam ke arahku dan tristan secara bergantian. Menatapku meminta penjelasan dan menatap tristan memberi ancaman.
            Adriana lalu keluar dari mobilnya dan menghampiriku.
            “hei, ad” sapa tristan. Adriana hanya mengangguk malas.
            “gue kira lo sudah siap tadi. Pantas saja sms sama telepon gue nggak ada balasan” adriana melirik ke arah tristan, menyalahkannya. Aku memang meminta adriana untuk menemaniku mecari bahan penelitian di perpustakaan kota. Dan memang seharusnya aku sudah siap daritadi.
            “sorry”jawabku sambil nyengir.
            “aku pulang dulu ya, shei,ad” pamit tristan. Adriana tetap tidak mengeluarkan suaranya.
            “ok. Take care ya disana” jawabku/ tristan mengangguk dan hiang dibalik mobilnya.
            “can you explain this, sheira?” adriana menekankan kata you dan memanggil namaku adalah suatu pertanda buruk.
            “Cuma mampir sama pamit saja kok, ad”aku berusaha terdengar santai walaupun aku sedikit khawatir mengingat apa yang menyebakannya harus berobat sejauh itu.
            “memangnya itu anak mau kemana?? Pergi tinggal pegi saja pakai acara pamit sama li segala, memangnya lo emaknya apa?” adriana mulai memanasa, bukan salahnya juga sih dia jadi amat sangat tidak menyukai tristan (aku menghindari kata benci, ya walaupun sepertinya memang begitu).
            “jerman” jawabku singkat dan mengajaknya masuk untuk membuatkannya secangkir kopi untuk meredam emosinya.
            “terus dia ngapain pamit pamit segala? Ke jerman doang juga” adriana masih kesal.
            “berobat, ad. Dia kena hepatitis C, stadium parah katanya”  aku masih dengan nada santaiku, walaupun pikiranku masih tidak tahu tentang penyakit tristan itu. Adriana terdiam sesaat.
            “hepatitis C, shei??” katanya berusaha meyakinkan bahwa dia tidak salah dengar. Aku mengangguk.
            “emang parah banget ya?” tanyaku bingung melihat reaksi adriana yang tiba tiba memasang muka iba, bukan lagi marah.
            “banget,shei” aku terdiam mendengar jawabannya. Tidak tahu harus bicara apa. Sisa pagi itu, aku dan adriana hanya terdiam. Dia tidak lagi mengomel tentang maalah tadi pagi dan aku tidak niat lagi ke perpustakaan.











.